 Untuk  menganalisa pandangan al-Quran tentang kehidupan, maka pada langkah  awal, penting bagi kita untuk mengetahui bagaimana al-Quran memberikan  pandangannya tentang dunia. Sehubungan dengan ini, ada dua pendapat  penting yang perlu diperhatikan, sebagai berikut:
Untuk  menganalisa pandangan al-Quran tentang kehidupan, maka pada langkah  awal, penting bagi kita untuk mengetahui bagaimana al-Quran memberikan  pandangannya tentang dunia. Sehubungan dengan ini, ada dua pendapat  penting yang perlu diperhatikan, sebagai berikut:Salah satunya adalah teori-teori yang dilontarkan oleh  kebanyakan pemeluk agama Hindu dan mayoritas pengikut tasawuf, mereka  beranggapan bahwa dunia tidaklah memiliki nilai dan arti apapun serta  bukan merupakan suatu hal yang penting dan fundamental untuk  diperhatian, dengan keyakinan dan kepercayaan yang dimilikinya ini  mereka mengajarkan kepada murid-murid dan para pengikutnya untuk  menyepi, bertapa, mengasingkan diri, dan menghindarkan diri dari  keramaian masyarakat. Menurut  kelompok ini, dunia secara esensial merupakan sebuah fenomena dan  realitas yang buruk dan tercela dimana apabila manusia memberikan nilai  dan perhatian kepadanya, maka hal ini akan menjerumuskan mereka ke arah  kerusakan, penderitaan, kesengsaraan, dan penyesalan.
Solusi serta jalan yang bisa dilakukan untuk mencapai  keselamatan, puncak kesempurnaan, serta kebahagiaan hanyalah dengan cara  mengesampingkan diri dan alienasi dari dunia dan  kepentingan-kepentingannya serta tidak memberikan perhatian sedikitpun  terhadap persoalan-persoalan keduniaan. Andai saja para pengikut  teori-teori ini hanya mencukupkan diri hingga batasan ini, mungkin kita  masih bisa merasionalisasikan pandangan-pandangan mereka, akan tetapi,  sayangnya kelompok ini telah melangkahkan kakinya dan mengambil sikap  praktis yang terlalu jauh hingga sampai pada batasan dimana untuk  melepaskan diri mereka dari keterikatan dan ketergantungan dunia ini,  mereka rela melakukan riyadah-riyadah dan olah batin yang susah dan  berat, sebuah riyadah yang tidak bisa dan sulit diterima oleh akal sehat  dan logika yang manapun, akan tetapi, mereka kokoh dan  bersungguh-sungguh untuk mempertahankan pandangan dan sikapnya tersebut.  Perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh para pertapa India serta  riyadah-riyadah yang kebanyakan dilakukan oleh para ahli sufi dan  tarekat yang memunculkan dan menampakkan diri mereka sebagai darwis-darwis serta pengemis-pengemis di negara-negara Islam, merupakan manifestasi  dan penampakan yang nyata dari metode dan tafakkur yang mereka hasilkan  tersebut.
Tentu saja, al-Quranul Karim dengan keras menentang  pendapat-pendapat seperti ini, dalam begitu banyak ayatnya al-Quran  mengisyaratkan bahwa dunia dan segala isinya ini diciptakan dan  diwujudkan oleh Tuhan Sang Pencipta untuk dimanfaatkan oleh manusia pada  dimensi-dimensi yang mengantarkannya pada tujuan penciptaan dan puncak  kesempurnaannya, yakni perjumpaan dan kedekatan dengan Tuhan. Dengan  demikian, manusia pun harus mampu memanfaatkan dunia ini secara benar  sesuai dengan petunjuk-petunjuk suci agama.
Di antara ayat-ayat-Nya, Allah Swt berfirman, “Dia-lah  yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap,  dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menumbuhkan dengan  hujan itu segala jenis buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Oleh karena  itu, janganlah kamu menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu  mengetahui.”[1] “Dia-lah  yang menjadikan bumi itu mudah bagimu. Maka berjalanlah di segala  penjurunya dan makanlah dari sebagian rezeki-Nya. Dan hanya  kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan”[2] “Dan  carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)  negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan)  duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah  berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka)  bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat  kerusakan.”[3]
Teori lain yang dilontarkan sehubungan dengan  masalah-masalah duniawi adalah teori yang dikemukakan oleh kaum  materialis, berdasarkan teori ini kehidupan materi merupakan  segala-galanya dan bersifat prinsipil serta mereka juga berpendapat  bahwa tidak ada kehidupan lain selain kehidupan yang ada di dunia ini,  oleh karena itulah, sehingga manusia harus memanfaatkan dan menghabiskan  waktunya di dunia ini dengan sebaik-baiknya dan sebesar-besarnya untuk  memperoleh manfaat dan keuntungan serta mengeksploitasi dunia ini  semaksimal mungkin.
Para pengikut teori ini beranggapan bahwa tujuan tertinggi  dari kehidupan manusia adalah memperoleh kesenangan, kenikmatan, dan  kelezatan dunia sebanyak-banyaknya dan semaksimal mungkin, dan mereka  berkeyakinan bahwa semakin banyak seseorang mampu memperoleh dan  memanfaatkan fasilitas-fasilitas yang terdapat di alam ini maka dia akan  menjadi manusia yang semakin sempurna. Bagi sebagian pengikut teori  ini, bagaimana cara dan metode memperoleh segala keuntungan-keuntungan  dan kelezatan-kelezatan duniawi tidaklah terlalu penting, karena yang  terpenting bagi mereka adalah bagaimana memuaskan keinginan-keinginan  dan hasrat-hasrat internalnya. Dengan demikian, mereka menghalalkan  segala cara dan metode untuk menggapai dan meraih apa yang mereka  kehendaki di alam dan dunia ini.
Tidak diragukan lagi bahwa metode berpikir seperti ini sama  sekali tidak logis, tidak benar, dan tidak bisa dijelaskan dengan akal,  karena kehidupan semacam ini hanya terjadi pada kehidupan binatang.  Apabila keinginan dan kehendak manusia adalah mengarungi kehidupannya  seperti ini, lalu dimanakah letak perbedaan antara binatang dengan  manusia? Al-Quran memberikan perumpamaan yang sangat menarik untuk  kelompok manusia seperti ini. Allah Swt Berfirman, “Sesungguhnya  Allah memasukkan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh ke  dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Dan orang-orang  yang kafir bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan persis  sebagaimana binatang-binatang makan, nerakalah tempat tinggal mereka.” [4]
Problematika yang akan muncul dari cara pandang terhadap  dunia dan alam yang semacam ini adalah tidak saja mereka salah dalam  mengevaluasi diri mereka sendiri, melainkan mereka juga salah dalam  mencermati dan menganalisa dunia ini, karena apabila seseorang  memberikan perhatian terhadap potensi dan kelebihan-kelebihan yang ada  dalam dirinya serta mencermati dunia dengan cara yang benar dan  proporsional yaitu mampu menyimpulkan bahwa dunia dan kehidupan duniawi  bisa mempunyai dimensi-dimensi yang positif dan juga dimensi-dimensi  yang negatif, maka dia akan mendapatkan bahwa selain manusia memiliki  kemampuan untuk melangkahkan kakinya dengan mempergunakan  perangkat-perangkat yang ada untuk diarahkan ke dimensi-dimensi positif  tak terbatas yang dimiliki dunia, pada saat yang sama, mereka sekaligus  juga bisa jatuh terjerembab ke arah ketakterbatasan yang dimiliki oleh  dimensi-dimensi negatif dunia ini.
Dengan dasar ini, mereka sama sekali tidak akan meletakkan  potensi-potensi yang ada dalam wujudnya untuk kelezatan-kelezatan yang  sesaat. Kaum materialis yang mempunyai pandangan terhadap dunia semacam  itu tidak akan benar dalam menafsirkan dan mengintepretasikan kehidupan  duniawi dan mereka tidak mampu memahami dan menyimpulkan bahwa kehidupan  manusia itu memiliki nilai yang lebih tinggi dan jauh lebih berarti  dari hal-hal tersebut.
Untuk menafikan dan menolak perspektif materialisme  tersebut, al-Quranul Karim menyandarkannya pada ketidakabadian dan  kepunahan kehidupan dunia. Al-Quran menggambarkan ketidakabadian  kehidupan dunia ini dengan salah satu ayat-Nya, Allah Swt berfirman, “(Hai  Muhammad), berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan dunia  adalah sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit, lalu  tumbuh-tumbuhan di muka bumi menjadi subur karenanya, kemudian  tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan  adalah Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”[5]
Ayat di atas mengumpamakan kehidupan dunia sebagai tetesan  air hujan yang diturunkan oleh Allah Swt dari langit, tetesan-tetesan  air yang mencurahkan sari kehidupan ini mampu menyembulkkan bebijian  yang semula tersembunyi di dalam tanah lalu mengubahnya menjadi  pepohonan yang berdaun rimbun dan menghijau. Tentunya keadaan seperti  ini akan segera berubah ketika angin keras berhembus ke pepohonan  tersebut dan dalam waktu sesaat telah mengubahnya menjadi batang-batang  kayu yang kering dan tak berdaun. Batang-batang yang semula kokoh,  rimbun, serta memiliki kehidupan dan mampu bertahan dalam menghadapi  tiupan angin keras ini, kini bahkan sebuah hembusan angin yang sangat  lembut sekalipun telah mampu menggoyangkan pohon tersebut ke segala  arah.
Setiap tahun dalam sepanjang hidupnya, manusia senantiasa  menyaksikan keadaan seperti ini. Keempat musim yang datang dan pergi  silih berganti memperlihatkan adegan kehidupan dan kematian ini dengan  sangat baik dan mempesona. Pada musim semi, kita menyaksikan salah satu  fenomena yang sangat indah dan menakjubkan yang ditampakkan oleh  pepohonan sebagai manifestasi dari karya kehidupan, dan kebalikannya,  pada musim gugur kita akan menyaksikan fenomena kematian mengerikan yang  dihadapi oleh pepohonan tersebut yang dalam waktu tak seberapa lama  telah berubah dalam bentuknya yang kering kerontang tanpa daun sama  sekali.
Dengan memproyeksikan fenomena “kehidupan” dan “kematian”  yang terdapat pada kedua musim semi dan gugur tersebut, seakan-akan ayat  di atas hendak mengatakan bahwa kehidupan duniawi yang dialami dan  dijalani oleh manusia pun persis sebagaimana kehidupan yang dialami  pepohonan tersebut, yakni sama sekali tidak memiliki keabadian, dengan  arti bahwa pada suatu saat manusia berada dalam masa kanak-kanaknya,  pada hari lain mereka pasti akan memasuki masa remaja yang penuh canda  dan tawa, akan tetapi masa remaja yang menyenangkan ini tidak akan  berlangsung abadi karena dengan berlalunya waktu, mereka akan berubah  menjadi manusia-manusia lansia yang pada hakekatnya merupakan sebuah  masa yang akan mengantarkan manusia ke arah akhir kehidupan dan akhirnya  sebagaimana pepohonan, yang bahkan dengan hembusan angin yang tidak  terlalu kencang sekalipun akan mampu mencerabut kehidupan yang mereka  miliki selama ini dari akarnya.
Sekarang, setelah kita menganalisa prosesi-prosesi yang  terjadi di atas dengan cermat, maka kita akan mengetahui dengan jelas  bahwa al-Quranul Karim sama sekali tidak memberikan pembenaran dan  legitimasinya bahkan terhadap satupun dari kedua pendapat tentang dunia  sebagaimana yang tersebut di atas. Lalu pertanyaannya, apakah pendapat  al-Quran tentang masalah ini?
Al-Quran al-Karim memberikan pandangan yang khusus tentang  dunia yaitu dengan tidak menafikan dunia secara mutlak dan tidak pula  memberikan pembenaran secara mutlak kepadanya, melainkan pada kondisi  tertentu, al-Quran menafikan dunia dan pada kondisi lainnya memberikan  pembenaran padanya. Dari sinilah, kemudian pandangan yang dimiliki oleh  al-Quran ini tidak bisa dikomparasikan dengan pandangan yang manapun.
Karena manusia telah diciptakan di dunia ini dan secara  alami memiliki kecintaan terhadap lingkungannya serta pada sisi lain  al-Quran pun memberikan perhatiannya terhadap kelembutan dan kecintaan  yang secara fitrah dimiliki oleh manusia, maka al-Quran tidak menafikan  adanya kebergantungan alamiah manusia kepada dunia ini, akan tetapi,  apabila manusia menggantungkan dirinya secara mutlak kepada dunia dan  menjual hakikat kediriannya untuk perkara-perkara duniawi dan  mengokohkan interaksinya terhadap dunia sebagaimana ikatan mata rantai  yang membelenggu dan memenjara dirinya, maka bentuk pandangan dan  penyikapan terhadap dunia yang semacam ini tidak mungkin bisa diterima  karena bertolak belakang dengan fitrah dan hakikat penciptaan manusia.
Dalam pandangan al-Quran, dunia merupakan sebuah alat,  media, dan fasilitas dimana apabila kita memandangnya sebagai sebuah  tujuan hakiki lalu meletakkannya sebagai tempat kebergantungan secara  mutlak, maka yakinlah bahwa pada hakikatnya kita telah kehilangan  hakikat dan kepribadian diri kita.
Dengan ungkapan lain, dalam logika Quran, kehidupan duniawi  ini mempunyai dua penampakan dan realitas (seperti dua sisi mata uang),  penampakan yang pertama merupakan penampakan yang kosong dan negatif,  dan yang lainnya adalah sebuah penampakan hakiki dan positif:
1. Penampakan Majasi Kehidupan Duniawi
Yang dimaksud dengan penampakan majasi dari kehidupan ini  ialah bahwa manusia menganggap kehidupan sebagai sebuah tempat bermain  dan menganggap dunia ini tidak lebih sebagai sebuah tempat yang tidak  bernilai apa-apa selain untuk makan, tidur, dan menikmati segala  kelezatan yang terdapat di dalamnya. Oleh karena itu, apabila manusia  meletakkan kehidupannya hanya dalam batasan alami dan fisikal itu  sendiri, maka berarti dia hanya memberikan perhatian dan penekanannya  pada dimensi kosong dari sebuah kehidupan duniawi.
Di dalam al-Quran terdapat begitu banyak ayat yang  mengisyaratkan tentang dimensi negatif dari kehidupan dunia ini,  sebagaimana firman Allah Swt, “Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.”[6] “Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau.” [7] “Kehidupan  dunia telah menipu mereka, dan mereka menjadi saksi atas diri mereka  sendiri, bahwa mereka adalah orang-orang yang kafir.”[8] “Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang  melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta  berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang  tanam-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi  kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian hancur. Dan di akhirat  (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya.  Kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.”[9]
Ayat-ayat di atas menampakkan dengan jelas kepada kita  tentang berbagai dimensi negatif yang dimiliki oleh kehidupan duniawi,  di antaranya:
a. Tempat Bermain: Al-Quran  menganggap bahwa kehidupan duniawi tak lebih dari sekedar tempat untuk  bermain dan bersenang. Dengan memperhatikan kata “bermain” ini, maka  kita dengan jelas akan mampu meraba apa pandangan dan perspektif yang  dimiliki oleh al-Quran terhadap kehidupan yang ada di dunia ini. 
Kita mengetahui bahwa kata “bermain” senantiasa  dipergunakan untuk sebuah aktivitas dan kegiatan yang tidak memberikan  manfaat dan hasil yang logis dan hakiki, sebagaimana kebanyakan  aktivitas yang dilakukan oleh anak-anak, karena mereka masih belum  memiliki perkembangan akal dan pikiran yang mamadai dan sempurna, maka  mereka akan bergabung dan berkumpul untuk kemudian mengisi dan  menghabiskan waktu-waktunya untuk bermain dan bersenang-senang.
Demikian juga orang-orang yang hanya memperhatikan dimensi  kosong dari kehidupan dunia ini, pada hakikatnya mereka telah mengisi  dan memenuhi kehidupan mereka hanya dengan bermain dan bersenang-senang,  tak lebih dan tak kurang. Yaitu dalam sepanjang usianya mereka  senantiasa berusaha mencurahkan seluruh energi dan kekuatan yang  dimilikinya hanya untuk melakukan hal-hal dan aktivitas-aktivitas yang  tidak memiliki dimensi logis, hakiki, dan rasional sedikitpun, maka dari  sinilah kita bisa memberikan pembenaran dan justifikasi bahwa aktivitas  bermain ternyata tidak hanya menjadi milik anak-anak saja, karena bisa  jadi orang-orang dewasa pun, tanpa mereka sadari telah menghabiskan pula  waktu-waktu dan kesempatan-kesempatan berharganya hanya untuk melakukan  permainan-permainan yang tak bermakna sama sekali, dan sesungguhnyalah  mereka ini (orang dewasa) tak lain dan tak lebih hanyalah anak-anak yang  telah berumur 40, 50, 60 …. tahun, yakni dari segi umur mereka  dikategorikan sebagai orang dewasa, namun dari dimensi kejiwaan mereka  belum dewasa dan sama saja dengan anak-anak.
b. Tempat untuk bersenang-senang: Kesenangan  merupakan dimensi lain dari kehidupan duniawi, dalam istilah lain,  kesenangan merupakan aktivitas yang menyibukkan manusia dan  melalaikannya dari melakukan berbagai aktivitas lainnya yang lebih  penting dan hakiki. Perbedaan yang ada antara bermain dan  bersenang-senang adalah bahwa yang dihasilkan dari aktivitas dan  kegiatan bermain adalah terbuang dan tersia-sianya waktu dan kesempatan,  sedangkan yang dihasilkan oleh kegiatan bersenang-senang selain  menyia-nyiakan waktu yang berharga ini, juga akan menghalangi dan  melalaikan seseorang dari melakukan aktivitas lainnya yang lebih penting  dan bermakna.
c. Perhiasan: Dimensi  lain dari kehidupan duniawi yang disebutkan dalam al-Quran adalah  sebagai perhiasan atau seperangkat perhiasan. Untuk menarik perhatian  para manusia secara lebih baik dan efektif terhadap kehidupan duniawi,  dunia ini memerlukan perhiasan untuk menghiasi dan memperindah  wajah-wajah dan penampakan-penampakan yang dimilikinya. Pada hakikatnya,  mayoritas mereka yang memberikan perhatiannya secara khusus kepada  dimensi negatif dunia ini senantiasa akan berusaha untuk mencari  keindahan dan perhiasan tersebut untuk menghiasi dan memperindah  lahiriahnya. Mereka senantiasa akan berusaha untuk membangun rumah  dengan bangunan yang megah dan bertingkat-tingkat kemudian mengisinya  dengan segala bentuk kemewahan supaya mampu dengan semaksimal mungkin  memanfaatkan usianya yang terbatas dan menceburkan dirinya dalam  memperindah penampakan-penampakan lahiriahnya untuk menutupi segala  kekurangan yang ada dalam dirinya.
Bisa jadi seseorang akan bertanya, apabila al-Quran  senantiasa memberikan pandangan yang negatif serta menganggap perhiasan  duniawi sebagai suatu hal yang tidak bermakna sama sekali, lantas kenapa  Allah Swt bersusah payah untuk menciptakan dan mewujudkannya?  Al-Quranul Karim dalam masalah ini memberikan jawaban dengan firman-Nya,  “Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya.”[10]
Berdasarkan ayat di atas, perhiasan merupakan sebuah alat  dan fasilitas dimana dengannya Allah swt ingin menguji apa bentuk  pilihan yang diambil oleh manusia sehingga menjadi jelas manakah di  antara manusia-manusia tersebut yang mampu mempergunakan perhiasan  tersebut sebagai alat dan media untuk mengembangkan kehidupan hakikinya  dan manakah dari mereka yang menjadikannya sebagai sasaran dan tujuan  kemudian mempergunakannya untuk mematikan kehidupan hakikinya (yakni  kehidupan akhirat). Dengan ibarat lain, manakah dari mereka yang  meletakkan perhiasan sebagai manifestasi positif kehidupan dan manakah  yang mempergunakannya pada dimensi negatif kehidupan.
d. Tempat berbangga-bangga: Dimensi  lain yang dimiliki oleh kehidupan duniawi adalah menjadikannya sebagai  media kebanggaan antara satu dengan lainnya. Mereka yang hanya  memberikan perhatiannya kepada dimensi kosong dari kehidupan dunia ini  akan senantiasa berada dalam pencarian untuk mendapatkan kebanggaan  serta kemasyhuran, yang dengannya, mereka bisa saling berbangga-bangga  dengan yang lainnya. Bagi mereka, karunia Ilahi berupa kehidupan di  dunia ini yang sebenarnya bisa dijadikan sebagai alat dan sarana untuk  melakukan perjalanan spiritual (seir dan suluk) ke arah-Nya, malah telah  mereka jadikan sebagai perantara untuk berkhidmat dan memuaskan nafsu  ammarahnya serta menjadikannya sebagai alat untuk mengembangkan  keinginan-keinginan alamiahnya, mereka ini, yang seharusnya memanfaatkan  kondisi yang dimilikinya dalam kehidupan duniawi itu untuk membantu  menggapai puncak kesempurnaan dirinya dan selainnya, malah menghancurkan  daya dan kekuatan serta potensi yang dimilikinya dengan mencurahkan  seluruh kecintaannya terhadap kondisi-kondisi yang dimilikinya dan  mengangap hal tersebut sebagai tujuan dari hidupnya. Sayangnya dengan  perbuatannya ini mereka tidak saja telah menghancurkan diri mereka  sendiri melainkan dengan sikap egois yang mereka miliki ini orang  lainpun sudah pasti akan terkena pengaruh dan imbasnya. Orang-orang  semacam ini, selain mampu menghancurkan dirinya sendiri juga dapat  menyeret orang-orang di sekitarnya untuk menikmati kehancuran  sebagaimana yang terjadi pada dirinya sendiri. 
e. Tempat untuk Memperbanyak Harta dan Keturunan: Dimensi  lain dari kehidupan duniawi adalah tempat untuk semakin memperbanyak  harta dan keturunan. Manusia yang hanya memperhatikan dimensi negatif  dari kehidupan dunia ini, maka tujuannya tidak lebih hanyalah untuk  melakukan penambahan kuantitas lahiriah saja, karena apabila tujuan yang  lebih tinggi dan suci telah dilupakan dan dimensi positif dari  kehidupan duniawi-pun telah dikesampingkan, maka mereka ini tidak  mempunyai tujuan lain selain melakukan sesuatu untuk menambah dan  memperbanyak harta atau keturunan. 
Ayat di atas bisa diintepretasikan pula dengan warna yang  berbeda, dengan arti bahwa berdasarkan ayat di atas maka kehidupan dunia  bisa dibagi menjadi beberapa tahap:
a. Masa bermain, yang  pada hakikatnya merupakan masa kanak-kanak, dimana kita ketahui bahwa  anak-anak tidak pernah memikirkan sesuatu yang lain selain bermain.
b. Masa bersenang-senang,  yang bisa dinisbatkan pada masa remaja, dimana pada masa ini para  remaja menyenangi petualangan, bepergian, belajar, serta mencoba  mengenal alam.
c. Masa berhias, yang  biasanya berada pada masa muda, dimana pada masa ini kebanyakan para  pemuda-pemudi mengarungi dan manjalani kehidupan mereka dengan  memberikan perhatian yang lebih terhadap keindahan dan kecantikan mereka  secara lahiriah.
d. Masa berbangga diri,  dengan adanya instink untuk mencari gengsi dan harga diri maka orang  yang menggantungkan dirinya kepada dunia akan sombong dan bangga dengan  segala apa yang dimilikinya.
e. Masa memperbanyak harta,  seseorang yang meletakkan kehidupan dunia sebagai tujuan dan sasaran  yang paling tinggi dari kehidupannya, maka dalam salah satu tahapan dan  tangga dari kehidupannya adalah mereka akan mempergunakandan  memanfaatkan waktu-waktunya untuk mengumpulkan harta dan kekayaan  sebanyak dan semaksimal mungkin.
f. Masa memperbanyak keturunan,  pada salah satu dari tahapan kehidupannya, manusia memiliki  kecenderungan untuk memperbanyak keturunannya, pada masa ini manusia  akan mengecimpungkan dirinya dalam usaha untuk memperbanyak keturunan.
Pada hakikatnya, dengan menjelaskan adanya tahapan-tahapan  kehidupan tersebut, aya-ayat tersebut ingin mengisyaratkan topik berikut  dan menjelaskan suatu hakikat bahwa hasil dari seluruh keterikatan dan  kebergantungan manusia kepada kehidupan duniawi tidak lain adalah  memperindah diri mereka secara lahiriah, memperbanyak harta, dan  menambah keturunan dimana pada akhirnya masing-masing hal tersebut  merupakan sesuatu yang fana, punah, dan akan hancur serta tidak memiliki  keabadian, hal ini karena waktu, masa bermain, masa foya-foya yang ada  pada masa kanak-kanak, dan masa muda pasti akan berlalu, kemudian  setelah itu, masa mempercantik diri dan membanggakan diri pun akan  mengalami kesirnaan dan kepunahan yang pasti, maka tidak diragukan lagi  bahwa harta dan keturunan pun akan mengalami perubahan-perubahan dan  tidak akan luput dari segala kehancuran.
“Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami  berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala  akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat. Dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukurَ.”[11]
“Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan  perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan  mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan  dirugikan.”[12]
Ayat-ayat tersebut di atas telah mengisyaratkan tentang  hakikat mendasar berikut ini bahwa apabila seseorang hanya memberikan  perhatiannya pada dimensi kosong kehidupan duniawi ini dan tidak  memiliki tujuan lain untuk dirinya selain hidup untuk makan, tidur,  mengarungi kehidupannya untuk memuaskan hawa nafsunya dan senantiasa  dalam usahanya untuk mencari kelezatan dan memanfaatkan perhiasan  lahiriah kehidupan, maka tanpa diragukan lagi karena mereka telah  menghabiskan seluruh energinya untuk mendapatkan hal-hal tersebut, sudah  pasti mereka akan mendapatkan hasilnya sesuai dengan apa-apa yang  mereka inginkan.
Akan tetapi, al-Quran dalam masalah bahwa apakah pada  dasarnya orang-orang semacam ini telah melakukan perbuatan-perbuatan  yang tidak seharusnya ataukah tidak? Dan pada masa mendatang imbalan  apakah yang akan mereka dapatkan dari perbuatan-perbuatan mereka ini,  al-Quran memberikan jawaban sebagai berikut, “Itulah orang-orang  yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di  akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa  yang telah mereka kerjakan.”[13] “Barang  siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat, akan Kami tambah  keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di  dunia, Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak  ada baginya suatu bagian pun di akhirat.”[14]
Kesimpulannya, apabila kehidupan duniawi dijadikan tujuan  dan sasaran satu-satunya dan manusia sama sekali tidak memiliki tujuan  kehidupan yang lebih tinggi, hakiki, dan suci, maka kehidupan dunia ini  akan menjadi suatu kehidupan yang sia-sia, kosong, dan tidak bermakna  sama sekali.
Berbagai ayat dalam al-Quran menjelaskan tentang,dimensi kosong dan aspek kesia-siaan dari kehidupan dunia ini sebagai berikut, “Sesungguhnya  orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami, merasa puas  dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan kehidupan itu, dan  orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami.”[15]
Dengan mencermati ayat di atas, kita bisa menyimpulkan  bahwa dimensi negatif dari kehidupan duniawi memiliki  karakteristik-karakteristik sebagai berikut:
- Ketiadaan perhatian kepada hari kebangkitan (akhirat);
- Keterikatan hati kepada dunia dan penyandaran diri secara mutlak kepadanya;
- Lalai terhadap ayat-ayat Tuhan.
Sebagaimana tersebut di atas, al-Quran berabad-abad sebelum  ditemukannya Nihilisme, telah mengisyaratkan terhadap adanya dimensi  negatif dari kehidupan dunia dengan menggunakan dalil-dalil dan  argumentasi-argumentasi yang kuat, di antaranya dengan motivasi  ketidakabadian kehidupan dunia. Tentunya tidak diragukan lagi bahwa  al-Quran dengan pandangannya yang khas terhadap dunia ini, selain  mengetengahkan tentang dimensi negatif kehidupan dunia juga berusaha  memberikan pemahaman kepada manusia supaya mereka merekonstruksi dan  merenovasi kembali kehidupannya dengan kehidupan yang lebih tinggi,  lebih suci, lebih hakiki, dan lebih bermakna. Karena apabila manusia  beranggapan bahwa kehidupan duniawi merupakan alat dan sarana untuk  menggapai kehidupan hakiki di alam akhirat kelak, maka sesungguhnya  mereka telah mendapatkan manfaat dan faedah dari kehidupan yang ada di  dunia ini secara maksimal.
Dengan menyajikan pandangan dunia (word view)  inilah al-Quran kemudian sangat mengecam perbuatan-perbuatan yang  menyebabkan terputusnya kehidupan seseorang atau bunuh diri, al-Quran  menganggap perbuatan-perbuatan semacam ini merupakan suatu hal yang  sangat buruk dan tercela. Sebagaimana dalam ayat-Nya, Dia berfirman, “Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”[16] “dan janganlah kamu menjerumuskan dirimu sendiri ke dalam jurang kebinasaan“[17]
Oleh karena itu, terdapat perbedaan yang jelas antara  pandangan al-Quran dengan pandangan para Nihilisme terhadap masalah  keduniaan, karena menurut pandangan para penganut Nihilisme, ketika  manusia memiliki kehidupan dan mendapatkan kesempatan untuk  berkehidupan, berarti pada saat itu pula mereka pun memiliki kesempatan  dan hak untuk menghilangkan dan memusnahkan kehidupannya tersebut, yaitu  mengarahkan dirinya sendiri pada kematian, sementara itu menurut  pandangan al-Quran manusia sama sekali tidak mempunyai hak untuk  menghancurkan dan menghilangkan kehidupannya, meskipun kehidupan dunia  itu senantiasa diliputi dan diwarnai dengan kemalangan, kefakiran, dan  ketakberuntungan-ketakberuntungan lainnya, manusia tetap saja harus  bersemangat, tak putus asa, dan melangkahkan kakinya ke arah sebuah  kehidupan mendatang yang lebih ideal dan sempurna.
2. Penampakan Hakiki Kehidupan Duniawi
Dan yang dimaksud dengan penampakan hakiki kehidupan  duniawi adalah manusia mengarahkan pikirannya kepada tujuan riil dan  hakiki dari kehidupan yang dimilikinya, dan memandang kehidupan duniawi  ini dari sudut yang lebih tinggi dari sekedar mencari kelezatan,  kenikmatan, dan kebebasan di dalamnya. Manusia-manusia dari golongan ini  akan meletakkan Tuhan sebagai satu-satunya tujuan hidup dan berusaha  sehingga setiap saatnya mereka pergunakan untuk berjalan dan melangkah  ke arah-Nya, hanya Dia-lah satu-satunya yang layak disembah, hanya di  jalan-Nya dan untuk-Nya mereka beraktivitas, hanya untuk-Nya dan hanya  ke arah-Nya mereka bergerak, mereka mengintepretasikan dan menafsirkan  kehidupan dunia ini dalam interaksi dengan Tuhan Sang Pencipta, dan dia  memiliki pandangan-pandangan yang sangat bernilai dimana hakikat dari  semuanya adalah Tuhan.
Manusia yang berpikir terhadap penampakan hakiki seperti  ini, tidak lagi memadang kehidupannya hanya sebagai sebuah interaksi dan  hubungan antara dunia dengan tabiat dirinya. Mereka tentu saja juga  meyakini akan keberadaan kehidupan dunia ini, akan tetapi, mereka  menggunakannya sebagai alat dan sarana untuk menuju sebuah kesempurnaan  dan kebahagiaan yang hakiki, bukannya mengorbankan kehidupan akhiratnya  untuk membangun kehidupan duniawi. Mereka mengetahui kedua interaksi ini  dengan baik dan mereka menganggap bahwa kehidupan akhirat sebagai  kelanjutan dari kehidupan dunia.
Pada banyak ayat disebutkan bahwa kehidupan akhirat sebagai  kehidupan yang hakiki dan dalam perbandingannya dengan hal ini,  kehidupan duniawi merupakan sesuatu yang tidak bermakna dan tidak  berharga sama sekali. Hal ini sebagaimana Allah Swt berfirman dalam  al-Quran, “Dan tiadalah kehidupan dunia ini, melainkan main-main dan  senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi  orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu berpikir?”[18] “Dan  sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka, “Siapakah yang  menurunkan air dari langit lalu menghidupkan bumi dengan air itu sesudah  matinya?” Tentu mereka akan menjawab, “Allah.” Katakanlah, “Segala puji  bagi Allah.” Tetapi kebanyakan mereka tidak memahami(nya).”[19] “Hai kaumku, sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan  (sementara) dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal.”[20]
Ayat-ayat al-Quran di atas meletakkan manusia itu sebagai  subjek pembicaraan dan memperingatkan bahwa jangan sampai mereka  meletakkan kehidupan dunia ini sebagai tujuan dan sasarannya yang lebih  tinggi, karena apabila manusia menganggap kehidupan dunia sebagai  sasaran dan fokus utamanya, maka kehidupannya tidak akan pernah keluar  dari keterbatasan alami yang dimilikinya. Akan tetapi, apabila manusia  meletakkan kehidupan akhirat yang memiliki mekanisme dan keteraturan  khas yang sangat berbeda dengan kehidupan dunia sebagai tujuan hidupnya  yang lebih tinggi, maka yakinlah bahwa dia tidak akan pernah terjatuh  dan terjerembab ke arah ketakberuntungan dan tidak akan pernah terseret  ke arah aliran Nihilisme tersebut.
“Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila  kamu diseru, “Berangkatlah (untuk berperang) di jalan Allah”, kamu  merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu merasa puas  dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal  kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat  hanyalah sedikit?”[21]
Pada ayat-ayat di bawah ini pun, kehidupan ukhrawi  dikatakan sebagai kehidupan yang hakiki, dan kehidupan dunia apabila  dikomparasikan dengan kehidupan ukhrawi merupakan sebuah kehidupan yang  sama sekali tak bermakna dan tak bernilai, Allah Swt, “Kamu  menghendaki harta benda duniawi (dengan menangkap tawanan yang banyak  dan menerima harta tebusan untuk setiap kepala tawanan itu), sedangkan  Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa  lagi Maha Bijaksana.”[22] “Tidakkah  kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka (di Mekah),  “(Sementara ini), tahanlah tanganmu (dari berjihad), dirikanlah salat,  dan tunaikanlah zakat!” (Tetapi mereka marah atas perintah ini). Setelah  jihad diwajibkan kepada mereka (di Madinah), tiba-tiba sebagian dari  mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya  kepada Allah, bahkan ketakutan mereka lebih sangat dari itu. Mereka  berkata, “Ya Tuhan kami, mengapa Engkau wajibkan jihad kepada kami?  Mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban berjihad ini) kepada kami  beberapa waktu lagi?” Katakanlah, “Kesenangan di dunia ini hanya  sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa dan  kamu tidak akan dianiaya sedikit pun.“[23] “Itulah  orang-orang yang telah (rela) membeli kehidupan dunia dengan  (kehidupan) akhirat. Maka siksa mereka tidak akan diringankan dan mereka  tidak akan mendapat pertolongan.”[24] “Allah  meluaskan rezeki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki.  Mereka (orang-orang kafir) bergembira dengan kehidupan di dunia, padahal  kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat, hanyalah  kesenangan (yang sedikit).”[25] “(Yaitu) Allah yang memiliki segala apa yang di langit dan di bumi. Dan  celakalah orang-orang kafir karena siksaan yang sangat pedih.”[26] “(Yaitu) orang-orang yang lebih menyukai kehidupan dunia daripada  kehidupan akhirat, menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah, dan  menginginkan agar jalan Allah itu bengkok. Mereka itu berada dalam  kesesatan yang jauh.”[27] “Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi.. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.”[28] “Dan kehidupan akhirat lebih tinggi tingkatnya dan lebih besar keutamaannya.”[29]
Berdasarkan ayat-ayat di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa  kehidupan akhirat merupakan batin dan hakikat dari kehidupan dunia  serta memiliki kedudukan yang lebih tinggi, lebih sempurna, dan lebih  baik. Kehidupan akhirat adalah kehidupan yang hakiki, karena di alam  akhirat ini manusia akan berhadapan dengan realitas-realitas dan  hakikat-hakikat, bukannya persoalan-persoalan yang nisbi dan relatif.  Kehidupan akhirat merupakan sebuah  kehidupan yang di dalamnya tidak  terdapat efek-efek keburukan, kerusakan, kesusahan, sakit, ataupun  gangguan-gangguan, yang hal ini bertolak belakang secara total dengan  kehidupan dunia, dimana di dalamnya senantiasa dipenuhi dengan  persoalan-persoalan tersebut.
Tentunya untuk sampai pada kehidupan akhirat dan hakiki  tersebut, manusia harus melakukan usaha dan upayanya dengan  sebaik-baiknya dalam kehidupan yang dimilikinya saat ini, karena  kehidupan di alam tersebut merupakan hasil dari kehidupan di alam ini,  dengan kata lain kehidupan dunia merupakan pendahuluan dan mukadimah  dari kehidupan ukhrawi. Sebagaimana Rasulullah saww bersabda: “Kehidupan dunia merupakan lahan bagi kehidupan akhirat.”
Oleh karena itu, karena al-Quran menganggap kehidupan  ukhrawi sebagai hasil dan buah dari kehidupan dunia, maka al-Quran tidak  bisa mengesampingkan kehidupan dunia begitu saja. Dan apa yang dimaksud  oleh al-Quran bahwa kehidupan duniawi merupakan sebuah kehidupan yang  tak bermakna dan tak bernilai adalah bahwa dimensi negatif yang dimiliki  oleh kehidupan dunia yang dipandang tanpa adanya interaksi dengan  kehidupan ukhrawi. Yaitu manusia malah menghabiskan waktu berharganya  yang seharusnya bisa dipergunakan untuk menggapai kehidupan ukhrawi  secara lebih baik dengan mengisi kehidupan dunianya hanya untuk  mengikuti keinginan-keinginan negatif dan kecenderungan-kecenderungan  hawa nafsunya, tanpa memikirkan kehidupan ukhrawinya.
Dari sinilah kita bisa mengatakan bahwa manusia yang  dijadikan teladan dalam al-Quran bukan saja manusia yang tidak  bertentangan dengan kehidupan duniawi, bahkan mereka selain berusaha  dengan segala kemampuannya untuk memperoleh kesejahteraan-kesejahteraan  di dalam kehidupan dunianya dengan landasan gerak yang Qurani, mereka  juga mempersiapkan diri mereka untuk kehidupan ukhrawinya. Sebagaimana  yang difirmankan oleh Allah Swt, “Dan di antara mereka ada yang  berdoa, “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di  akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka.”[30]  “Dan  tetapkanlah untuk kami kebajikan di dunia ini dan di akhirat;  sesungguhnya kami kembali (bertobat) kepada-Mu.” Allah berfirman,  “Siksa-Ku akan Kutimpakan kepada siapa yang Aku kehendaki dan rahmat-Ku  meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk  orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang  beriman kepada ayat-ayat Kami.”[31]
Tentu saja untuk bisa menggapai kehidupan abadi dengan baik  niscaya memerlukan terpenuhinya persyaratan-persyaratan tertentu,  dimana al-Quran telah mengisyaratkan hal tersebut di dalam banyak  ayat-ayat-Nya, di antaranya adalah ayat berikut, “Dan barang siapa  yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan  sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah  orang-orang yang usahanya dibalas dengan baik.”[32]
Berdasarkan ayat di atas, untuk mendapatkan kehidupan ukhrawi memerlukan terpenuhinya tiga persyaratan berikut:
- Manusia mesti memiliki kehendak dan iradah terhadap kehidupan abadi di akhirat, yaitu manusia sungguh-sungguh menghendaki kehidupan ukhrawi tersebut, bukannya hanya memberikan perhatiannya pada kehidupan duniawi;
- Manusia mesti melakukan usaha dan upayanya, yaitu tidak menghentikan amal-amal perbuatannya untuk mendapatkan kehidupan abadi tersebut;
- Usaha dan upaya yang dilakukan oleh manusia harus diiringi dengan keimanan, yaitu motivasi perbuatan dan usahanya hanyalah karena Allah Swt.
[1] . Qs. Al-Baqarah: 22.
[2] . Qs. Al-Mulk: 15.
[3] . Qs. Qhashash: 77.
[4] . Qs. Muhamad: 12.
[5] .  Qs. Al-Kahf:45.
[6] . Qs. Ali Imran: 185.
[7] . Qs. Muhammad: 36.
[8] . Qs. Al-An’am: 130.
[9] . Qs. Al- Hadid: 20.
[10] . Qs. Al-Kahfi: 7.
[11] . Qs.Ali Imran: 145.
[12] . Qs. Hud: 15.
[13]. Qs. Hud: 16.
[14] . Qs. Syura: 20.
[15] . Qs. Yunus: 7.
[16] . Qs. An-Nisa: 29.
[17] . Qs. Al-Baqarah: 195.
[18] . Qs. Al-An’am: 32.
[19] . Qs. Ankabut: 64.
[20] . Qs. Mukmin: 39.
[21] . Qs. At-Taubah: 38.
[22] . Qs. Al-Anfal: 67.
[23] . Qs. An-Nisa: 77.
[24]. Qs. Al-Baqarah: 86.
[25] . Qs. Ar-Raad: 26.
[26] . Qs. Ibrahim: 2.
[27] . Qs. Ibrahim: 3..
[28] . Qs. Al-A’la: 16-17.
[29] . Qs. Al-Isra': 21.
[30] . Qs. AL-Baqarah: 201.
[31] . Qs. Al-A’raf: 156.
[32] . Qs. Al-Isra': 19.
DITULIS Oleh: Ayatullah Murtadha Muthahhari
 
 
 
 
 
0 komentar:
Post a Comment