728x90 AdSpace

Latest News
Thursday, 29 January 2015

Nilai Kehidupan Menurut Al-Quran



Untuk menganalisa pandangan al-Quran tentang kehidupan, maka pada langkah awal, penting bagi kita untuk mengetahui bagaimana al-Quran memberikan pandangannya tentang dunia. Sehubungan dengan ini, ada dua pendapat penting yang perlu diperhatikan, sebagai berikut:

Salah satunya adalah teori-teori yang dilontarkan oleh kebanyakan pemeluk agama Hindu dan mayoritas pengikut tasawuf, mereka beranggapan bahwa dunia tidaklah memiliki nilai dan arti apapun serta bukan merupakan suatu hal yang penting dan fundamental untuk diperhatian, dengan keyakinan dan kepercayaan yang dimilikinya ini mereka mengajarkan kepada murid-murid dan para pengikutnya untuk menyepi, bertapa, mengasingkan diri, dan menghindarkan diri dari keramaian masyarakat. Menurut kelompok ini, dunia secara esensial merupakan sebuah fenomena dan realitas yang buruk dan tercela dimana apabila manusia memberikan nilai dan perhatian kepadanya, maka hal ini akan menjerumuskan mereka ke arah kerusakan, penderitaan, kesengsaraan, dan penyesalan.

Solusi serta jalan yang bisa dilakukan untuk mencapai keselamatan, puncak kesempurnaan, serta kebahagiaan hanyalah dengan cara mengesampingkan diri dan alienasi dari dunia dan kepentingan-kepentingannya serta tidak memberikan perhatian sedikitpun terhadap persoalan-persoalan keduniaan. Andai saja para pengikut teori-teori ini hanya mencukupkan diri hingga batasan ini, mungkin kita masih bisa merasionalisasikan pandangan-pandangan mereka, akan tetapi, sayangnya kelompok ini telah melangkahkan kakinya dan mengambil sikap praktis yang terlalu jauh hingga sampai pada batasan dimana untuk melepaskan diri mereka dari keterikatan dan ketergantungan dunia ini, mereka rela melakukan riyadah-riyadah dan olah batin yang susah dan berat, sebuah riyadah yang tidak bisa dan sulit diterima oleh akal sehat dan logika yang manapun, akan tetapi, mereka kokoh dan bersungguh-sungguh untuk mempertahankan pandangan dan sikapnya tersebut. Perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh para pertapa India serta riyadah-riyadah yang kebanyakan dilakukan oleh para ahli sufi dan tarekat yang memunculkan dan menampakkan diri mereka sebagai darwis-darwis serta pengemis-pengemis di negara-negara Islam, merupakan manifestasi dan penampakan yang nyata dari metode dan tafakkur yang mereka hasilkan tersebut.

Tentu saja, al-Quranul Karim dengan keras menentang pendapat-pendapat seperti ini, dalam begitu banyak ayatnya al-Quran mengisyaratkan bahwa dunia dan segala isinya ini diciptakan dan diwujudkan oleh Tuhan Sang Pencipta untuk dimanfaatkan oleh manusia pada dimensi-dimensi yang mengantarkannya pada tujuan penciptaan dan puncak kesempurnaannya, yakni perjumpaan dan kedekatan dengan Tuhan. Dengan demikian, manusia pun harus mampu memanfaatkan dunia ini secara benar sesuai dengan petunjuk-petunjuk suci agama.
Di antara ayat-ayat-Nya, Allah Swt berfirman, Dia-lah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menumbuhkan dengan hujan itu segala jenis buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Oleh karena itu, janganlah kamu menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.”[1] “Dia-lah yang menjadikan bumi itu mudah bagimu. Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah dari sebagian rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan”[2] “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”[3]

Teori lain yang dilontarkan sehubungan dengan masalah-masalah duniawi adalah teori yang dikemukakan oleh kaum materialis, berdasarkan teori ini kehidupan materi merupakan segala-galanya dan bersifat prinsipil serta mereka juga berpendapat bahwa tidak ada kehidupan lain selain kehidupan yang ada di dunia ini, oleh karena itulah, sehingga manusia harus memanfaatkan dan menghabiskan waktunya di dunia ini dengan sebaik-baiknya dan sebesar-besarnya untuk memperoleh manfaat dan keuntungan serta mengeksploitasi dunia ini semaksimal mungkin.

Para pengikut teori ini beranggapan bahwa tujuan tertinggi dari kehidupan manusia adalah memperoleh kesenangan, kenikmatan, dan kelezatan dunia sebanyak-banyaknya dan semaksimal mungkin, dan mereka berkeyakinan bahwa semakin banyak seseorang mampu memperoleh dan memanfaatkan fasilitas-fasilitas yang terdapat di alam ini maka dia akan menjadi manusia yang semakin sempurna. Bagi sebagian pengikut teori ini, bagaimana cara dan metode memperoleh segala keuntungan-keuntungan dan kelezatan-kelezatan duniawi tidaklah terlalu penting, karena yang terpenting bagi mereka adalah bagaimana memuaskan keinginan-keinginan dan hasrat-hasrat internalnya. Dengan demikian, mereka menghalalkan segala cara dan metode untuk menggapai dan meraih apa yang mereka kehendaki di alam dan dunia ini.
Tidak diragukan lagi bahwa metode berpikir seperti ini sama sekali tidak logis, tidak benar, dan tidak bisa dijelaskan dengan akal, karena kehidupan semacam ini hanya terjadi pada kehidupan binatang. Apabila keinginan dan kehendak manusia adalah mengarungi kehidupannya seperti ini, lalu dimanakah letak perbedaan antara binatang dengan manusia? Al-Quran memberikan perumpamaan yang sangat menarik untuk kelompok manusia seperti ini. Allah Swt Berfirman, “Sesungguhnya Allah memasukkan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Dan orang-orang yang kafir bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan persis sebagaimana binatang-binatang makan, nerakalah tempat tinggal mereka.” [4]

Problematika yang akan muncul dari cara pandang terhadap dunia dan alam yang semacam ini adalah tidak saja mereka salah dalam mengevaluasi diri mereka sendiri, melainkan mereka juga salah dalam mencermati dan menganalisa dunia ini, karena apabila seseorang memberikan perhatian terhadap potensi dan kelebihan-kelebihan yang ada dalam dirinya serta mencermati dunia dengan cara yang benar dan proporsional yaitu mampu menyimpulkan bahwa dunia dan kehidupan duniawi bisa mempunyai dimensi-dimensi yang positif dan juga dimensi-dimensi yang negatif, maka dia akan mendapatkan bahwa selain manusia memiliki kemampuan untuk melangkahkan kakinya dengan mempergunakan perangkat-perangkat yang ada untuk diarahkan ke dimensi-dimensi positif tak terbatas yang dimiliki dunia, pada saat yang sama, mereka sekaligus juga bisa jatuh terjerembab ke arah ketakterbatasan yang dimiliki oleh dimensi-dimensi negatif dunia ini.

Dengan dasar ini, mereka sama sekali tidak akan meletakkan potensi-potensi yang ada dalam wujudnya untuk kelezatan-kelezatan yang sesaat. Kaum materialis yang mempunyai pandangan terhadap dunia semacam itu tidak akan benar dalam menafsirkan dan mengintepretasikan kehidupan duniawi dan mereka tidak mampu memahami dan menyimpulkan bahwa kehidupan manusia itu memiliki nilai yang lebih tinggi dan jauh lebih berarti dari hal-hal tersebut.
Untuk menafikan dan menolak perspektif materialisme tersebut, al-Quranul Karim menyandarkannya pada ketidakabadian dan kepunahan kehidupan dunia. Al-Quran menggambarkan ketidakabadian kehidupan dunia ini dengan salah satu ayat-Nya, Allah Swt berfirman, “(Hai Muhammad), berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan dunia adalah sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuh-tumbuhan di muka bumi menjadi subur karenanya, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan adalah Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”[5]

Ayat di atas mengumpamakan kehidupan dunia sebagai tetesan air hujan yang diturunkan oleh Allah Swt dari langit, tetesan-tetesan air yang mencurahkan sari kehidupan ini mampu menyembulkkan bebijian yang semula tersembunyi di dalam tanah lalu mengubahnya menjadi pepohonan yang berdaun rimbun dan menghijau. Tentunya keadaan seperti ini akan segera berubah ketika angin keras berhembus ke pepohonan tersebut dan dalam waktu sesaat telah mengubahnya menjadi batang-batang kayu yang kering dan tak berdaun. Batang-batang yang semula kokoh, rimbun, serta memiliki kehidupan dan mampu bertahan dalam menghadapi tiupan angin keras ini, kini bahkan sebuah hembusan angin yang sangat lembut sekalipun telah mampu menggoyangkan pohon tersebut ke segala arah.
Setiap tahun dalam sepanjang hidupnya, manusia senantiasa menyaksikan keadaan seperti ini. Keempat musim yang datang dan pergi silih berganti memperlihatkan adegan kehidupan dan kematian ini dengan sangat baik dan mempesona. Pada musim semi, kita menyaksikan salah satu fenomena yang sangat indah dan menakjubkan yang ditampakkan oleh pepohonan sebagai manifestasi dari karya kehidupan, dan kebalikannya, pada musim gugur kita akan menyaksikan fenomena kematian mengerikan yang dihadapi oleh pepohonan tersebut yang dalam waktu tak seberapa lama telah berubah dalam bentuknya yang kering kerontang tanpa daun sama sekali.

Dengan memproyeksikan fenomena “kehidupan” dan “kematian” yang terdapat pada kedua musim semi dan gugur tersebut, seakan-akan ayat di atas hendak mengatakan bahwa kehidupan duniawi yang dialami dan dijalani oleh manusia pun persis sebagaimana kehidupan yang dialami pepohonan tersebut, yakni sama sekali tidak memiliki keabadian, dengan arti bahwa pada suatu saat manusia berada dalam masa kanak-kanaknya, pada hari lain mereka pasti akan memasuki masa remaja yang penuh canda dan tawa, akan tetapi masa remaja yang menyenangkan ini tidak akan berlangsung abadi karena dengan berlalunya waktu, mereka akan berubah menjadi manusia-manusia lansia yang pada hakekatnya merupakan sebuah masa yang akan mengantarkan manusia ke arah akhir kehidupan dan akhirnya sebagaimana pepohonan, yang bahkan dengan hembusan angin yang tidak terlalu kencang sekalipun akan mampu mencerabut kehidupan yang mereka miliki selama ini dari akarnya.
Sekarang, setelah kita menganalisa prosesi-prosesi yang terjadi di atas dengan cermat, maka kita akan mengetahui dengan jelas bahwa al-Quranul Karim sama sekali tidak memberikan pembenaran dan legitimasinya bahkan terhadap satupun dari kedua pendapat tentang dunia sebagaimana yang tersebut di atas. Lalu pertanyaannya, apakah pendapat al-Quran tentang masalah ini?

Al-Quran al-Karim memberikan pandangan yang khusus tentang dunia yaitu dengan tidak menafikan dunia secara mutlak dan tidak pula memberikan pembenaran secara mutlak kepadanya, melainkan pada kondisi tertentu, al-Quran menafikan dunia dan pada kondisi lainnya memberikan pembenaran padanya. Dari sinilah, kemudian pandangan yang dimiliki oleh al-Quran ini tidak bisa dikomparasikan dengan pandangan yang manapun.

Karena manusia telah diciptakan di dunia ini dan secara alami memiliki kecintaan terhadap lingkungannya serta pada sisi lain al-Quran pun memberikan perhatiannya terhadap kelembutan dan kecintaan yang secara fitrah dimiliki oleh manusia, maka al-Quran tidak menafikan adanya kebergantungan alamiah manusia kepada dunia ini, akan tetapi, apabila manusia menggantungkan dirinya secara mutlak kepada dunia dan menjual hakikat kediriannya untuk perkara-perkara duniawi dan mengokohkan interaksinya terhadap dunia sebagaimana ikatan mata rantai yang membelenggu dan memenjara dirinya, maka bentuk pandangan dan penyikapan terhadap dunia yang semacam ini tidak mungkin bisa diterima karena bertolak belakang dengan fitrah dan hakikat penciptaan manusia.

Dalam pandangan al-Quran, dunia merupakan sebuah alat, media, dan fasilitas dimana apabila kita memandangnya sebagai sebuah tujuan hakiki lalu meletakkannya sebagai tempat kebergantungan secara mutlak, maka yakinlah bahwa pada hakikatnya kita telah kehilangan hakikat dan kepribadian diri kita.
Dengan ungkapan lain, dalam logika Quran, kehidupan duniawi ini mempunyai dua penampakan dan realitas (seperti dua sisi mata uang), penampakan yang pertama merupakan penampakan yang kosong dan negatif, dan yang lainnya adalah sebuah penampakan hakiki dan positif:

1. Penampakan Majasi Kehidupan Duniawi
Yang dimaksud dengan penampakan majasi dari kehidupan ini ialah bahwa manusia menganggap kehidupan sebagai sebuah tempat bermain dan menganggap dunia ini tidak lebih sebagai sebuah tempat yang tidak bernilai apa-apa selain untuk makan, tidur, dan menikmati segala kelezatan yang terdapat di dalamnya. Oleh karena itu, apabila manusia meletakkan kehidupannya hanya dalam batasan alami dan fisikal itu sendiri, maka berarti dia hanya memberikan perhatian dan penekanannya pada dimensi kosong dari sebuah kehidupan duniawi.

Di dalam al-Quran terdapat begitu banyak ayat yang mengisyaratkan tentang dimensi negatif dari kehidupan dunia ini, sebagaimana firman Allah Swt, “Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.”[6] “Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau.” [7] “Kehidupan dunia telah menipu mereka, dan mereka menjadi saksi atas diri mereka sendiri, bahwa mereka adalah orang-orang yang kafir.”[8] “Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.”[9]
Ayat-ayat di atas menampakkan dengan jelas kepada kita tentang berbagai dimensi negatif yang dimiliki oleh kehidupan duniawi, di antaranya:

a. Tempat Bermain: Al-Quran menganggap bahwa kehidupan duniawi tak lebih dari sekedar tempat untuk bermain dan bersenang. Dengan memperhatikan kata “bermain” ini, maka kita dengan jelas akan mampu meraba apa pandangan dan perspektif yang dimiliki oleh al-Quran terhadap kehidupan yang ada di dunia ini. 
Kita mengetahui bahwa kata “bermain” senantiasa dipergunakan untuk sebuah aktivitas dan kegiatan yang tidak memberikan manfaat dan hasil yang logis dan hakiki, sebagaimana kebanyakan aktivitas yang dilakukan oleh anak-anak, karena mereka masih belum memiliki perkembangan akal dan pikiran yang mamadai dan sempurna, maka mereka akan bergabung dan berkumpul untuk kemudian mengisi dan menghabiskan waktu-waktunya untuk bermain dan bersenang-senang.

Demikian juga orang-orang yang hanya memperhatikan dimensi kosong dari kehidupan dunia ini, pada hakikatnya mereka telah mengisi dan memenuhi kehidupan mereka hanya dengan bermain dan bersenang-senang, tak lebih dan tak kurang. Yaitu dalam sepanjang usianya mereka senantiasa berusaha mencurahkan seluruh energi dan kekuatan yang dimilikinya hanya untuk melakukan hal-hal dan aktivitas-aktivitas yang tidak memiliki dimensi logis, hakiki, dan rasional sedikitpun, maka dari sinilah kita bisa memberikan pembenaran dan justifikasi bahwa aktivitas bermain ternyata tidak hanya menjadi milik anak-anak saja, karena bisa jadi orang-orang dewasa pun, tanpa mereka sadari telah menghabiskan pula waktu-waktu dan kesempatan-kesempatan berharganya hanya untuk melakukan permainan-permainan yang tak bermakna sama sekali, dan sesungguhnyalah mereka ini (orang dewasa) tak lain dan tak lebih hanyalah anak-anak yang telah berumur 40, 50, 60 …. tahun, yakni dari segi umur mereka dikategorikan sebagai orang dewasa, namun dari dimensi kejiwaan mereka belum dewasa dan sama saja dengan anak-anak.

b. Tempat untuk bersenang-senang: Kesenangan merupakan dimensi lain dari kehidupan duniawi, dalam istilah lain, kesenangan merupakan aktivitas yang menyibukkan manusia dan melalaikannya dari melakukan berbagai aktivitas lainnya yang lebih penting dan hakiki. Perbedaan yang ada antara bermain dan bersenang-senang adalah bahwa yang dihasilkan dari aktivitas dan kegiatan bermain adalah terbuang dan tersia-sianya waktu dan kesempatan, sedangkan yang dihasilkan oleh kegiatan bersenang-senang selain menyia-nyiakan waktu yang berharga ini, juga akan menghalangi dan melalaikan seseorang dari melakukan aktivitas lainnya yang lebih penting dan bermakna.

c. Perhiasan: Dimensi lain dari kehidupan duniawi yang disebutkan dalam al-Quran adalah sebagai perhiasan atau seperangkat perhiasan. Untuk menarik perhatian para manusia secara lebih baik dan efektif terhadap kehidupan duniawi, dunia ini memerlukan perhiasan untuk menghiasi dan memperindah wajah-wajah dan penampakan-penampakan yang dimilikinya. Pada hakikatnya, mayoritas mereka yang memberikan perhatiannya secara khusus kepada dimensi negatif dunia ini senantiasa akan berusaha untuk mencari keindahan dan perhiasan tersebut untuk menghiasi dan memperindah lahiriahnya. Mereka senantiasa akan berusaha untuk membangun rumah dengan bangunan yang megah dan bertingkat-tingkat kemudian mengisinya dengan segala bentuk kemewahan supaya mampu dengan semaksimal mungkin memanfaatkan usianya yang terbatas dan menceburkan dirinya dalam memperindah penampakan-penampakan lahiriahnya untuk menutupi segala kekurangan yang ada dalam dirinya.
Bisa jadi seseorang akan bertanya, apabila al-Quran senantiasa memberikan pandangan yang negatif serta menganggap perhiasan duniawi sebagai suatu hal yang tidak bermakna sama sekali, lantas kenapa Allah Swt bersusah payah untuk menciptakan dan mewujudkannya? Al-Quranul Karim dalam masalah ini memberikan jawaban dengan firman-Nya, “Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya.”[10]
Berdasarkan ayat di atas, perhiasan merupakan sebuah alat dan fasilitas dimana dengannya Allah swt ingin menguji apa bentuk pilihan yang diambil oleh manusia sehingga menjadi jelas manakah di antara manusia-manusia tersebut yang mampu mempergunakan perhiasan tersebut sebagai alat dan media untuk mengembangkan kehidupan hakikinya dan manakah dari mereka yang menjadikannya sebagai sasaran dan tujuan kemudian mempergunakannya untuk mematikan kehidupan hakikinya (yakni kehidupan akhirat). Dengan ibarat lain, manakah dari mereka yang meletakkan perhiasan sebagai manifestasi positif kehidupan dan manakah yang mempergunakannya pada dimensi negatif kehidupan.

d. Tempat berbangga-bangga: Dimensi lain yang dimiliki oleh kehidupan duniawi adalah menjadikannya sebagai media kebanggaan antara satu dengan lainnya. Mereka yang hanya memberikan perhatiannya kepada dimensi kosong dari kehidupan dunia ini akan senantiasa berada dalam pencarian untuk mendapatkan kebanggaan serta kemasyhuran, yang dengannya, mereka bisa saling berbangga-bangga dengan yang lainnya. Bagi mereka, karunia Ilahi berupa kehidupan di dunia ini yang sebenarnya bisa dijadikan sebagai alat dan sarana untuk melakukan perjalanan spiritual (seir dan suluk) ke arah-Nya, malah telah mereka jadikan sebagai perantara untuk berkhidmat dan memuaskan nafsu ammarahnya serta menjadikannya sebagai alat untuk mengembangkan keinginan-keinginan alamiahnya, mereka ini, yang seharusnya memanfaatkan kondisi yang dimilikinya dalam kehidupan duniawi itu untuk membantu menggapai puncak kesempurnaan dirinya dan selainnya, malah menghancurkan daya dan kekuatan serta potensi yang dimilikinya dengan mencurahkan seluruh kecintaannya terhadap kondisi-kondisi yang dimilikinya dan mengangap hal tersebut sebagai tujuan dari hidupnya. Sayangnya dengan perbuatannya ini mereka tidak saja telah menghancurkan diri mereka sendiri melainkan dengan sikap egois yang mereka miliki ini orang lainpun sudah pasti akan terkena pengaruh dan imbasnya. Orang-orang semacam ini, selain mampu menghancurkan dirinya sendiri juga dapat menyeret orang-orang di sekitarnya untuk menikmati kehancuran sebagaimana yang terjadi pada dirinya sendiri. 

e. Tempat untuk Memperbanyak Harta dan Keturunan: Dimensi lain dari kehidupan duniawi adalah tempat untuk semakin memperbanyak harta dan keturunan. Manusia yang hanya memperhatikan dimensi negatif dari kehidupan dunia ini, maka tujuannya tidak lebih hanyalah untuk melakukan penambahan kuantitas lahiriah saja, karena apabila tujuan yang lebih tinggi dan suci telah dilupakan dan dimensi positif dari kehidupan duniawi-pun telah dikesampingkan, maka mereka ini tidak mempunyai tujuan lain selain melakukan sesuatu untuk menambah dan memperbanyak harta atau keturunan. 

Ayat di atas bisa diintepretasikan pula dengan warna yang berbeda, dengan arti bahwa berdasarkan ayat di atas maka kehidupan dunia bisa dibagi menjadi beberapa tahap:
a. Masa bermain, yang pada hakikatnya merupakan masa kanak-kanak, dimana kita ketahui bahwa anak-anak tidak pernah memikirkan sesuatu yang lain selain bermain.
b. Masa bersenang-senang, yang bisa dinisbatkan pada masa remaja, dimana pada masa ini para remaja menyenangi petualangan, bepergian, belajar, serta mencoba mengenal alam.
c. Masa berhias, yang biasanya berada pada masa muda, dimana pada masa ini kebanyakan para pemuda-pemudi mengarungi dan manjalani kehidupan mereka dengan memberikan perhatian yang lebih terhadap keindahan dan kecantikan mereka secara lahiriah.
d. Masa berbangga diri, dengan adanya instink untuk mencari gengsi dan harga diri maka orang yang menggantungkan dirinya kepada dunia akan sombong dan bangga dengan segala apa yang dimilikinya.
e. Masa memperbanyak harta, seseorang yang meletakkan kehidupan dunia sebagai tujuan dan sasaran yang paling tinggi dari kehidupannya, maka dalam salah satu tahapan dan tangga dari kehidupannya adalah mereka akan mempergunakandan memanfaatkan waktu-waktunya untuk mengumpulkan harta dan kekayaan sebanyak dan semaksimal mungkin.
f. Masa memperbanyak keturunan, pada salah satu dari tahapan kehidupannya, manusia memiliki kecenderungan untuk memperbanyak keturunannya, pada masa ini manusia akan mengecimpungkan dirinya dalam usaha untuk memperbanyak keturunan.

Pada hakikatnya, dengan menjelaskan adanya tahapan-tahapan kehidupan tersebut, aya-ayat tersebut ingin mengisyaratkan topik berikut dan menjelaskan suatu hakikat bahwa hasil dari seluruh keterikatan dan kebergantungan manusia kepada kehidupan duniawi tidak lain adalah memperindah diri mereka secara lahiriah, memperbanyak harta, dan menambah keturunan dimana pada akhirnya masing-masing hal tersebut merupakan sesuatu yang fana, punah, dan akan hancur serta tidak memiliki keabadian, hal ini karena waktu, masa bermain, masa foya-foya yang ada pada masa kanak-kanak, dan masa muda pasti akan berlalu, kemudian setelah itu, masa mempercantik diri dan membanggakan diri pun akan mengalami kesirnaan dan kepunahan yang pasti, maka tidak diragukan lagi bahwa harta dan keturunan pun akan mengalami perubahan-perubahan dan tidak akan luput dari segala kehancuran.

“Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat. Dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukurَ.”[11]
“Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan.”[12]
Ayat-ayat tersebut di atas telah mengisyaratkan tentang hakikat mendasar berikut ini bahwa apabila seseorang hanya memberikan perhatiannya pada dimensi kosong kehidupan duniawi ini dan tidak memiliki tujuan lain untuk dirinya selain hidup untuk makan, tidur, mengarungi kehidupannya untuk memuaskan hawa nafsunya dan senantiasa dalam usahanya untuk mencari kelezatan dan memanfaatkan perhiasan lahiriah kehidupan, maka tanpa diragukan lagi karena mereka telah menghabiskan seluruh energinya untuk mendapatkan hal-hal tersebut, sudah pasti mereka akan mendapatkan hasilnya sesuai dengan apa-apa yang mereka inginkan.

Akan tetapi, al-Quran dalam masalah bahwa apakah pada dasarnya orang-orang semacam ini telah melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak seharusnya ataukah tidak? Dan pada masa mendatang imbalan apakah yang akan mereka dapatkan dari perbuatan-perbuatan mereka ini, al-Quran memberikan jawaban sebagai berikut, “Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.”[13] “Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat, akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia, Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bagian pun di akhirat.”[14]

Kesimpulannya, apabila kehidupan duniawi dijadikan tujuan dan sasaran satu-satunya dan manusia sama sekali tidak memiliki tujuan kehidupan yang lebih tinggi, hakiki, dan suci, maka kehidupan dunia ini akan menjadi suatu kehidupan yang sia-sia, kosong, dan tidak bermakna sama sekali.
Berbagai ayat dalam al-Quran menjelaskan tentang,dimensi kosong dan aspek kesia-siaan dari kehidupan dunia ini sebagai berikut, “Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami, merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan kehidupan itu, dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami.”[15]
Dengan mencermati ayat di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa dimensi negatif dari kehidupan duniawi memiliki karakteristik-karakteristik sebagai berikut:
  1. Ketiadaan perhatian kepada hari kebangkitan (akhirat);
  2. Keterikatan hati kepada dunia dan penyandaran diri secara mutlak kepadanya;
  3. Lalai terhadap ayat-ayat Tuhan.
Sebagaimana tersebut di atas, al-Quran berabad-abad sebelum ditemukannya Nihilisme, telah mengisyaratkan terhadap adanya dimensi negatif dari kehidupan dunia dengan menggunakan dalil-dalil dan argumentasi-argumentasi yang kuat, di antaranya dengan motivasi ketidakabadian kehidupan dunia. Tentunya tidak diragukan lagi bahwa al-Quran dengan pandangannya yang khas terhadap dunia ini, selain mengetengahkan tentang dimensi negatif kehidupan dunia juga berusaha memberikan pemahaman kepada manusia supaya mereka merekonstruksi dan merenovasi kembali kehidupannya dengan kehidupan yang lebih tinggi, lebih suci, lebih hakiki, dan lebih bermakna. Karena apabila manusia beranggapan bahwa kehidupan duniawi merupakan alat dan sarana untuk menggapai kehidupan hakiki di alam akhirat kelak, maka sesungguhnya mereka telah mendapatkan manfaat dan faedah dari kehidupan yang ada di dunia ini secara maksimal.

Dengan menyajikan pandangan dunia (word view) inilah al-Quran kemudian sangat mengecam perbuatan-perbuatan yang menyebabkan terputusnya kehidupan seseorang atau bunuh diri, al-Quran menganggap perbuatan-perbuatan semacam ini merupakan suatu hal yang sangat buruk dan tercela. Sebagaimana dalam ayat-Nya, Dia berfirman, “Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”[16] dan janganlah kamu menjerumuskan dirimu sendiri ke dalam jurang kebinasaan[17]

Oleh karena itu, terdapat perbedaan yang jelas antara pandangan al-Quran dengan pandangan para Nihilisme terhadap masalah keduniaan, karena menurut pandangan para penganut Nihilisme, ketika manusia memiliki kehidupan dan mendapatkan kesempatan untuk berkehidupan, berarti pada saat itu pula mereka pun memiliki kesempatan dan hak untuk menghilangkan dan memusnahkan kehidupannya tersebut, yaitu mengarahkan dirinya sendiri pada kematian, sementara itu menurut pandangan al-Quran manusia sama sekali tidak mempunyai hak untuk menghancurkan dan menghilangkan kehidupannya, meskipun kehidupan dunia itu senantiasa diliputi dan diwarnai dengan kemalangan, kefakiran, dan ketakberuntungan-ketakberuntungan lainnya, manusia tetap saja harus bersemangat, tak putus asa, dan melangkahkan kakinya ke arah sebuah kehidupan mendatang yang lebih ideal dan sempurna.

2. Penampakan Hakiki Kehidupan Duniawi
Dan yang dimaksud dengan penampakan hakiki kehidupan duniawi adalah manusia mengarahkan pikirannya kepada tujuan riil dan hakiki dari kehidupan yang dimilikinya, dan memandang kehidupan duniawi ini dari sudut yang lebih tinggi dari sekedar mencari kelezatan, kenikmatan, dan kebebasan di dalamnya. Manusia-manusia dari golongan ini akan meletakkan Tuhan sebagai satu-satunya tujuan hidup dan berusaha sehingga setiap saatnya mereka pergunakan untuk berjalan dan melangkah ke arah-Nya, hanya Dia-lah satu-satunya yang layak disembah, hanya di jalan-Nya dan untuk-Nya mereka beraktivitas, hanya untuk-Nya dan hanya ke arah-Nya mereka bergerak, mereka mengintepretasikan dan menafsirkan kehidupan dunia ini dalam interaksi dengan Tuhan Sang Pencipta, dan dia memiliki pandangan-pandangan yang sangat bernilai dimana hakikat dari semuanya adalah Tuhan.

Manusia yang berpikir terhadap penampakan hakiki seperti ini, tidak lagi memadang kehidupannya hanya sebagai sebuah interaksi dan hubungan antara dunia dengan tabiat dirinya. Mereka tentu saja juga meyakini akan keberadaan kehidupan dunia ini, akan tetapi, mereka menggunakannya sebagai alat dan sarana untuk menuju sebuah kesempurnaan dan kebahagiaan yang hakiki, bukannya mengorbankan kehidupan akhiratnya untuk membangun kehidupan duniawi. Mereka mengetahui kedua interaksi ini dengan baik dan mereka menganggap bahwa kehidupan akhirat sebagai kelanjutan dari kehidupan dunia.
Pada banyak ayat disebutkan bahwa kehidupan akhirat sebagai kehidupan yang hakiki dan dalam perbandingannya dengan hal ini, kehidupan duniawi merupakan sesuatu yang tidak bermakna dan tidak berharga sama sekali. Hal ini sebagaimana Allah Swt berfirman dalam al-Quran, “Dan tiadalah kehidupan dunia ini, melainkan main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu berpikir?”[18]Dan sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka, “Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan bumi dengan air itu sesudah matinya?” Tentu mereka akan menjawab, “Allah.” Katakanlah, “Segala puji bagi Allah.” Tetapi kebanyakan mereka tidak memahami(nya).”[19] “Hai kaumku, sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (sementara) dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal.”[20]

Ayat-ayat al-Quran di atas meletakkan manusia itu sebagai subjek pembicaraan dan memperingatkan bahwa jangan sampai mereka meletakkan kehidupan dunia ini sebagai tujuan dan sasarannya yang lebih tinggi, karena apabila manusia menganggap kehidupan dunia sebagai sasaran dan fokus utamanya, maka kehidupannya tidak akan pernah keluar dari keterbatasan alami yang dimilikinya. Akan tetapi, apabila manusia meletakkan kehidupan akhirat yang memiliki mekanisme dan keteraturan khas yang sangat berbeda dengan kehidupan dunia sebagai tujuan hidupnya yang lebih tinggi, maka yakinlah bahwa dia tidak akan pernah terjatuh dan terjerembab ke arah ketakberuntungan dan tidak akan pernah terseret ke arah aliran Nihilisme tersebut.
“Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila kamu diseru, “Berangkatlah (untuk berperang) di jalan Allah”, kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu merasa puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit?”[21]

Pada ayat-ayat di bawah ini pun, kehidupan ukhrawi dikatakan sebagai kehidupan yang hakiki, dan kehidupan dunia apabila dikomparasikan dengan kehidupan ukhrawi merupakan sebuah kehidupan yang sama sekali tak bermakna dan tak bernilai, Allah Swt, “Kamu menghendaki harta benda duniawi (dengan menangkap tawanan yang banyak dan menerima harta tebusan untuk setiap kepala tawanan itu), sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”[22] “Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka (di Mekah), “(Sementara ini), tahanlah tanganmu (dari berjihad), dirikanlah salat, dan tunaikanlah zakat!” (Tetapi mereka marah atas perintah ini). Setelah jihad diwajibkan kepada mereka (di Madinah), tiba-tiba sebagian dari mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan ketakutan mereka lebih sangat dari itu. Mereka berkata, “Ya Tuhan kami, mengapa Engkau wajibkan jihad kepada kami? Mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban berjihad ini) kepada kami beberapa waktu lagi?” Katakanlah, “Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa dan kamu tidak akan dianiaya sedikit pun.[23] “Itulah orang-orang yang telah (rela) membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat. Maka siksa mereka tidak akan diringankan dan mereka tidak akan mendapat pertolongan.”[24] “Allah meluaskan rezeki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki. Mereka (orang-orang kafir) bergembira dengan kehidupan di dunia, padahal kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan (yang sedikit).”[25] “(Yaitu) Allah yang memiliki segala apa yang di langit dan di bumi. Dan celakalah orang-orang kafir karena siksaan yang sangat pedih.”[26] “(Yaitu) orang-orang yang lebih menyukai kehidupan dunia daripada kehidupan akhirat, menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah, dan menginginkan agar jalan Allah itu bengkok. Mereka itu berada dalam kesesatan yang jauh.”[27] “Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi.. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.”[28] “Dan kehidupan akhirat lebih tinggi tingkatnya dan lebih besar keutamaannya.”[29]
Berdasarkan ayat-ayat di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa kehidupan akhirat merupakan batin dan hakikat dari kehidupan dunia serta memiliki kedudukan yang lebih tinggi, lebih sempurna, dan lebih baik. Kehidupan akhirat adalah kehidupan yang hakiki, karena di alam akhirat ini manusia akan berhadapan dengan realitas-realitas dan hakikat-hakikat, bukannya persoalan-persoalan yang nisbi dan relatif. Kehidupan akhirat merupakan sebuah  kehidupan yang di dalamnya tidak terdapat efek-efek keburukan, kerusakan, kesusahan, sakit, ataupun gangguan-gangguan, yang hal ini bertolak belakang secara total dengan kehidupan dunia, dimana di dalamnya senantiasa dipenuhi dengan persoalan-persoalan tersebut.
Tentunya untuk sampai pada kehidupan akhirat dan hakiki tersebut, manusia harus melakukan usaha dan upayanya dengan sebaik-baiknya dalam kehidupan yang dimilikinya saat ini, karena kehidupan di alam tersebut merupakan hasil dari kehidupan di alam ini, dengan kata lain kehidupan dunia merupakan pendahuluan dan mukadimah dari kehidupan ukhrawi. Sebagaimana Rasulullah saww bersabda: “Kehidupan dunia merupakan lahan bagi kehidupan akhirat.”
Oleh karena itu, karena al-Quran menganggap kehidupan ukhrawi sebagai hasil dan buah dari kehidupan dunia, maka al-Quran tidak bisa mengesampingkan kehidupan dunia begitu saja. Dan apa yang dimaksud oleh al-Quran bahwa kehidupan duniawi merupakan sebuah kehidupan yang tak bermakna dan tak bernilai adalah bahwa dimensi negatif yang dimiliki oleh kehidupan dunia yang dipandang tanpa adanya interaksi dengan kehidupan ukhrawi. Yaitu manusia malah menghabiskan waktu berharganya yang seharusnya bisa dipergunakan untuk menggapai kehidupan ukhrawi secara lebih baik dengan mengisi kehidupan dunianya hanya untuk mengikuti keinginan-keinginan negatif dan kecenderungan-kecenderungan hawa nafsunya, tanpa memikirkan kehidupan ukhrawinya.
Dari sinilah kita bisa mengatakan bahwa manusia yang dijadikan teladan dalam al-Quran bukan saja manusia yang tidak bertentangan dengan kehidupan duniawi, bahkan mereka selain berusaha dengan segala kemampuannya untuk memperoleh kesejahteraan-kesejahteraan di dalam kehidupan dunianya dengan landasan gerak yang Qurani, mereka juga mempersiapkan diri mereka untuk kehidupan ukhrawinya. Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Swt, “Dan di antara mereka ada yang berdoa, “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka.”[30]  “Dan tetapkanlah untuk kami kebajikan di dunia ini dan di akhirat; sesungguhnya kami kembali (bertobat) kepada-Mu.” Allah berfirman, “Siksa-Ku akan Kutimpakan kepada siapa yang Aku kehendaki dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami.”[31]
Tentu saja untuk bisa menggapai kehidupan abadi dengan baik niscaya memerlukan terpenuhinya persyaratan-persyaratan tertentu, dimana al-Quran telah mengisyaratkan hal tersebut di dalam banyak ayat-ayat-Nya, di antaranya adalah ayat berikut, “Dan barang siapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalas dengan baik.”[32]
Berdasarkan ayat di atas, untuk mendapatkan kehidupan ukhrawi memerlukan terpenuhinya tiga persyaratan berikut:
  1. Manusia mesti memiliki kehendak dan iradah terhadap kehidupan abadi di akhirat, yaitu manusia sungguh-sungguh menghendaki kehidupan ukhrawi tersebut, bukannya hanya memberikan perhatiannya pada kehidupan duniawi;
  2. Manusia mesti melakukan usaha dan upayanya, yaitu tidak menghentikan amal-amal perbuatannya untuk mendapatkan kehidupan abadi tersebut;
  3. Usaha dan upaya yang dilakukan oleh manusia harus diiringi dengan keimanan, yaitu motivasi perbuatan dan usahanya hanyalah karena Allah Swt.

[1] . Qs. Al-Baqarah: 22.
[2] . Qs. Al-Mulk: 15.
[3] . Qs. Qhashash: 77.
[4] . Qs. Muhamad: 12.
[5] .  Qs. Al-Kahf:45.
[6] . Qs. Ali Imran: 185.
[7] . Qs. Muhammad: 36.
[8] . Qs. Al-An’am: 130.
[9] . Qs. Al- Hadid: 20.
[10] . Qs. Al-Kahfi: 7.
[11] . Qs.Ali Imran: 145.
[12] . Qs. Hud: 15.
[13]. Qs. Hud: 16.
[14] . Qs. Syura: 20.
[15] . Qs. Yunus: 7.
[16] . Qs. An-Nisa: 29.
[17] . Qs. Al-Baqarah: 195.
[18] . Qs. Al-An’am: 32.
[19] . Qs. Ankabut: 64.
[20] . Qs. Mukmin: 39.
[21] . Qs. At-Taubah: 38.
[22] . Qs. Al-Anfal: 67.
[23] . Qs. An-Nisa: 77.
[24]. Qs. Al-Baqarah: 86.
[25] . Qs. Ar-Raad: 26.
[26] . Qs. Ibrahim: 2.
[27] . Qs. Ibrahim: 3..
[28] . Qs. Al-A’la: 16-17.
[29] . Qs. Al-Isra': 21.
[30] . Qs. AL-Baqarah: 201.
[31] . Qs. Al-A’raf: 156.
[32] . Qs. Al-Isra': 19.


DITULIS Oleh: Ayatullah Murtadha Muthahhari
 
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Post a Comment

Item Reviewed: Nilai Kehidupan Menurut Al-Quran Rating: 5 Reviewed By: RUSTADHIE