 Penyatuan  realitas eksistensi manusia dalam sebuah sistem psikologis yang selaras  dengan kecenderungan manusiawi dan evolusionernya, dan begitu juga  penyatuan masyarakat manusia dalam sebuah sistem sosial yang harmonis  dan evolusioner, merupakan dua hal yang selalu saja menarik perhatian  manusia. Kebalikan dari penyatuan adalah polarisasi personalitas  individual dan keterbagian personalitas tersebut menjadi segmen-segmen  yang saling berselisih,
Penyatuan  realitas eksistensi manusia dalam sebuah sistem psikologis yang selaras  dengan kecenderungan manusiawi dan evolusionernya, dan begitu juga  penyatuan masyarakat manusia dalam sebuah sistem sosial yang harmonis  dan evolusioner, merupakan dua hal yang selalu saja menarik perhatian  manusia. Kebalikan dari penyatuan adalah polarisasi personalitas  individual dan keterbagian personalitas tersebut menjadi segmen-segmen  yang saling berselisih, Teori Materialistis 
Yang menjadi pemikiran para penganut teori ini hanyalah materi.  Mereka tidak memandang penting arti jiwa. Mereka mengklaim bahwa yang  membagi-bagi individu secara psikologis dan membagi-bagi masyarakat  secara sosial dan yang menjadi penyebab perpecahan dan ketidakberesan  adalah adanya sistem pemilikan pribadi. Pada dasarnya manusia merupakan  makhluk sosial. Pada awal sejarahnya, manusia hidup secara kolektif, dan  tidak menyadari eksistensi individualnya. Pada saat itu manusia  memiliki jiwa kolektif dan perasaan kolektif. Sandaran hidupnya adalah  berburu. Setiap orang dapat mencari nafkah dari sungai dan hutan menurut  kebutuhannya. Tak ada masalah surplus produksi. Masalah surplus ini  baru muncul ketika manusia menemukan cara berproduksi. Dengan cara ini  muncul kemungkinan surplus produksi dan kemungkinan sebagian orang  bekerja sementara sebagian lainnya tinggal makan saja tanpa perlu  bekerja. Itu merupakan perkembangan yang melahirkan praktik hak milik.  Hak pribadi untuk memiliki sumber-sumber produksi seperti air dan tanah  serta alat produksi seperti bajak, menghapus semangat kolektif dan  membagi-bagi masyarakat yang sejauh itu hidup sebagai satu unit menjadi  “kaum mampu” dan “kaum tak mampu”. Masyarakat yang hidup sebagai “Kami”  berubah bentuk menjadi “Aku”. Akibat munculnya hak milik ini, manusia  menjadi tidak menyadari realitasnya sendiri sebagai makhluk sosial.  Kalau sebelumnya manusia merasa hanya sebagai manusia seperti manusia  lainnya, maka sekarang manusia memandang dirinya sendiri sebagai  pemilik, bukannya sebagai manusia. Maka manusia menjadi tidak menyadari  dirinya sendiri, dan mulai memburuk keadaannya. Hanya dengan menghapus  sistem hak milik pribadi, manusia dapat pulih kembali kesatuan moral dan  sosialnya serta kesehatan mental dan sosialnya. Gerakan sejarah yang  sifatnya wajib itu sudah terjadi ke arah ini. Milik pribadi, yang telah  mengubah kesatuan manusia menjadi pluralitas, dan mengubah kebersamaan  menjadi sendiri-sendiri, adalah seperti menara kecil yang disebutkan  oleh penyair sufi Persia, Maulawi, dalam sebuah tamsil yang bagus. Dia  mengatakan bahwa menara kecil dan puncak memecah-mecah satu sorot sinar  matahari ke dalam ruang-ruang terpisah dengan meng-hasilkan  segmen-segmen bayangan di antaranya. Tentu saja Maulawi menggambarkan  sebuah kebenaran makrifat rohaniah, yaitu munculnya pluralitas dari  kesatuan, dan pada akhirnya akan kembali kepada kesatuan. Namun dengan  sedikit diplintir, tamsil ini dapat juga digunakan untuk  mengilustrasikan teori sosialismenya Marxis.
Teori Idealistis 
Teori ini hanya memandang penting arti jiwa manusia dan hubungan  manusia dengan rohaninya saja. Menurut teori ini, hubungan manusia  dengan benda-benda material telah menghapus kesatuan, telah menyebabkan  terjadinya pluralitas, dan mencabik-cabik kolektivitas. Hubungan seperti  itu menyebabkan orang menderita penyakit mental (schizophrenia:  penyakit mental yang ditandai dengan kerusakan hubungan antara pikiran,  perasaan dan tindakan, yang sering kali disertai khayalan, dan tindakan  menjauh dari kehidupan sosial—pen.), dan membagi masyarakat menjadi  kelas-kelas. Namun, yang juga perlu diingat adalah bahwa dalam kasus  keterikatan satu hal dengan hal lain, maka hal kedua menjadi penyebab  tercabik-cabiknya hal pertama. Karena itu, keterikatan hal-hal seperti  harta, istri dan jabatan dengan manusia bukanlah penyebab penyakit  mental manusia dan terbagi-baginya masyarakat menjadi kelas-kelas.  Justru penyebab penyakit mental dan keterbagian masyarakat menjadi  kelas-kelas adalah keterikatan sepenuh had manusia dengan hal-hal  material. Yang membuat manusia merasa asing adalah “rasa dikuasai”-nya.  Dari sudut pandang moral dan sosial, yang mencabik-cabik  individualitasnya bukanlah “hartaku”, “istriku” dan “jabatanku”,  melainkan “menjadi harta”, “menjadi istri” dan “menjadi jabatan”.
Untuk mengubah “aku” menjadi “kita” tidaklah perlu memutus-kan  hubungan hal-hal material dengan manusia. Namun, yang harus diputus  adalah hubungan manusia dengan hal-hal material. Bebaskan manusia dari  keterikatan dengan hal-hal material, agar dia dapat balik ke realitas  manusiawinya. Berilah manusia kebebasan moral dan spiritualnya.  Membebaskan hal-hal material dari dikuasai manusia, tak ada gunanya.  Kesatuan moral dan sosial manusia merupakan masalah pendidikan dan  pelatihan spiritual, bukan masalah ekonomi. Yang dibutuhkan adalah  membangun atau mengembangkan rohani manusia, bukan membatasi raganya.  Pada mulanya manusia adalah hewan, kemudian “manusia”. Pada dasarnya  manusia adalah hewan, dan berkat upayanya dia menjadi manusia. Dengan  pendidikan yang benar, manusia dapat memperoleh kembali sisi  manusiawinya yang terpendam. Sebelum memperoleh kembali sisi manusiawi  yang terpendam tersebut, manusia pada dasarnya tetap hewan sehingga tak  ada masalah kesatuan jiwa dengan kehidupannya.
Tidaklah humanistis kalau menganggap hal-hal material sebagai  penyebab perpecahan dan persatuan manusia, dan tidak juga humanistis  kalau berpandangan bahwa karena hal-hal material dimiliki  sendiri-sendiri oleh individu-individu maka manusia terkotak-kotak, dan  karena hal-hal material dimiliki bersama maka manusia bersatu, dan bahwa  personalitas moral dan sosialnya dipengaruhi oleh situasi ekonomi dan  produksi. Faham-faham seperti itu merupakan akibat tidak mengenal  manusia dan akibat tidak mempercayai sisi manusiawi manusia dan  kemampuan manusia untuk memahami dan berkehendak.
Juga mustahil memutuskan secara total hubungan pribadi manusia dengan  hal-hal material. Sekalipun hubungan manusia dengan harta diputus,  tetap saja mustahil memutuskan hubungan manusia dengan istri, anak dan  keluarganya. Mungkinkah menampilkan sosialisme di bidang ini juga, dan  membentuk komunisme seksual? Kalau ini mungkin, kenapa negara-negara  yang menghapus hak milik pribadi tetap saja memakai sistem keluarga?  Misal saja sistem keluarga yang alamiah itu juga disosialiskan, lantas  apa yang akan dilakukan terhadap pekerjaan, jabatan, prestise dan  kehormatan? Mungkinkah semua orang sama-sama menikmati hal-hal ini juga?  Bagaimana dengan kemampuan fisis dan mental para individu?  Hubungan-hubungan ini merupakan bagian integral dari eksistensi setiap  individu dan tak dapat dipisahkan dari individu.
Teori Realistis 
Menurut teori ini, dari sudut pandang individu dan masyarakat, yang  membuat manusia terkotak-kotak bukanlah hubungan manusia dengan hal-hal  material, juga bukan hubungan hal-hal material dengan manusia. Penyebab  manusia menjadi budak bukanlah karena dia memiliki atau menguasai, juga  bukan karena dia dimiliki atau dikuasai. Yang pertama dipandang penting  oleh teori ini adalah faktor-faktor sepeiti pendidikan, pelatihan,  revolusi, pemikiran, ideologi dan kemerdekaan spiritual. Teori ini  percaya bahwa manusia bukanlah makhluk material murni, dan juga bukan  makhluk spiritual murni. Kehidupan di dunia ini dan di akhirat saling  berkaitan erat satu sama lain. Raga dan jiwa berinteraksi.
Faktor-faktor penyebab penyakit mental harus diperangi dengan bantuan  iman dan tauhid ibadah. Diskriminasi, kelaliman, penindasan, dan  Tuhan-tuhan palsu juga harus diperangi.
Inilah jalan pikiran Islam. Begitu datang, Islam mulai melakukan  gerakan, dan mulai mewujudkan revolusi. Namun Islam tidak pemah  mengatakan bahwa jika diskriminasi dan kelaliman dihapus, atau jika hak  milik pribadi ditiadakan, maka segalanya akan beres. Islam juga tidak  mengatakan bahwa jika Anda memperbarui diri dari dalam, tak berhubungan  dengan dunia lahiriah, dan meningkatkan kualitas moral Anda, maka secara  otomatis masyarakat akan teperbarui juga. Islam juga menyerukan agar  tauhid rohaniah dicapai melalui jihad dan agar ketidakadilan sosial  diperangi. Ayat berikut ini yang menyoroti cakrawala kesatuan manusia  dan yang dicantumkan oleh Nabi Muhammad saw dalam surat-suratnya untuk  pemimpin berbagai negara, mengejawantahkan realisme Islam dalam segala  hal:
Marilah kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan  antara kami dan kamu: bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak  kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun. (QS. Âli ‘Imrân: 64)
Sampai pada poin ini ayat ini berbicara mengenai kesatuan manusia  melalui iman, sebuah ideal bersama dan pencapaian kemerdekaan spiritual.  Kemudian ayat itu mengatakan, “Tak ada di antara kita yang akan  menjadikan yang lain sebagai Tuhan-tuhan di samping Allah.”
Kalau kita berbuat sesuai dengan ajaran Islam ini, maka kita tidak  akan terkotak-kotak menjadi tuan dan budak, dan akan mampu mencegah  terjadinya hubungan sosial yang tidak beres yang berakibat terjadinya  diskriminasi. Menyusul terjadinya kekacauan dan agitasi pada masa  kekhalifahan Usman yang berakibat terbunuhnya Usman, orang pada  beramai-ramai berbaiat (bersumpah setia) kepada Imam Ali bin Abi Thalib  as. Imam Ali as mau tak mau harus menerima tanggung jawab kekhalifahan.  Menerima tanggung jawab ini sebenarnya tidak dimaui oleh Imam Ali as  secara pribadi. Kewajiban legalnyalah yang memaksanya menerima jabatan  khalifah. Dia menggambarkan ketidaksukaan pribadinya dan kewajiban  legalnya dalam kata-kata berikut ini:
“Kalau saja orang-orang tidak datang kepadaku, kalau saja kehadiran  kaum Anshar memberiku pilihan, dan kalau saja Allah SWT tidak mengambil  janji dari orang alim untuk tidak menerima suatu situasi di mana orang  terkotak-kotak menjadi penindas yang kaya, dan si tertindas yang tidak  punya, tentu aku tak peduli siapa yang menjadi khalifah, dan sikapku  akan tetap sama seperti semula.” (Nahj al-Balâghah, khotbah 7)
Kita semua tahu bahwa Imam Ali as, setelah menjabat sebagai khalifah,  memberikan prioritas kepada dua hal. Yang pertama adalah reformasi  spiritual dan moral masyarakat, memasyarakatkan pengetahuan tentang  Tuhan, yang contoh-contohnya terdapat dalam “Nahj al-Balâghah”. Dan yang  kedua adalah perjuangannya memerangi diskriminasi sosial. Dia tidak  merasa cukup dengan reformasi rohaniah, juga tidak memandang cukup  reformasi sosial semata-mata. Di satu sisi Islam memiliki program  pendidikan masyarakat dan sosialisasi keimanan kepada Allah untuk  mewujudkan kesatuan individual dan sosial umat manusia, dan di sisi lain  Islam memiliki pedang untuk memperbaiki hubungan antar-manusia yang  tidak seimbang, untuk menghapus perbedaan kelas, dan untuk merubuhkan  Tuhan-tuhan palsu.
Masyarakat Islam yang tak berkelas artinya adalah suatu masyarakat  yang adil, dalam masyarakat seperti ini tak ada diskriminasi, tak ada  perampasan, tak ada tirani, dan tak ada Tuhan-tuhan palsu. Artinya  bukanlah suatu masyarakat yang tak ada keragaman di dalamnya, karena tak  adanya keragaman itu sendiri merupakan bentuk ketidakadilan. Ada  perbedaan antara diskriminasi dan keragaman. Dalam sistem penciptaan  alam semesta, ada keragaman, yang memperindah sistem tersebut, namun di  dalamnya tak ada diskriminasi. Masyarakat Islam paripurna merupakan  masyarakat yang menentang diskriminasi, namun tidak menentang keragaman.  Masyarakat Islam adalah masyarakat persamaan dan persaudaraan. Namun  persamaannya positif, bukan negatif. Masyarakat Islam mentolerir  perbedaan alamiah individu-individu dan tidak meniadakan perbedaan yang  terjadi karena upaya para individu. Masyarakat Islam menegakkan  persamaan positif dengan memberikan peluang yang sama kepada semua orang  dan dengan menghapus keunggulan yang imajiner atau yang tidak adil.
Persamaan yang negatif sama dengan persamaan yang disebut-kan dalam  sebuah cerita legenda. Seorang tiran tinggal di bukit. Dia mendapat  kunjungan orang-orang yang lewat. Ketika tamu beristirahat untuk  semalam, si tamu diminta tidur di tempat tidur khusus. Jika kebetulan  tubuh si tamu seukuran tempat tidur, tak ada masalah. Namun celaka bagi  tamu yang tubuhnya tidak seukuran tempat tidur. Jika si tamu lebih  tinggi, para abdi si tiran memotong bagian tubuh si tamu. Jika si tamu  lebih pendek, para abdi menarik tubuh si tamu agar pas dengan ukuran  tempat tidur. Untuk kedua kasus ini, hasilnya mudah dibayangkan.  Persamaan yang positif adalah seperti perlakuan yang sama dari seorang  guru kepada semua muridnya. Jika dalam ujian jawaban semua murid benar,  maka si guru memberikan nilai yang sama. Jika jawaban murid beragam,  maka si guru memberikan nilai kepada masing-masing murid dengan nilai  yang patut diterima masing-masing murid. Masyarakat Islam adalah  masyarakat alamiah. Bukan masyarakat yang diskriminatif, dan juga bukan  masyarakat yang di dalamnya terjadi persamaan yang negatif. Prinsip  Islam adalah: “Bekerja menurut kemampuan, memperoleh imbalan menurut  hasil kerja.”
Dalam masyarakat yang diskriminatif, hubungan antar-individu  didasarkan pada perbudakan dan eksploitasi. Namun dalam masyarakat yang  alamiah tak ada eksploitasi dan orang tak dibolehkan hidup dengan  mengorbankan orang lain. Hubungan antar-individu didasarkan pada saling  memberikan jasa. Semua orang bekerja menurut kemampuannya dan dalam  ruang lingkup potensinya. Semua orang saling melayani satu sama lain.  Dengan kata lain, kaidahnya adalah saling memanfaatkan jasa. Bila  seseorang lebih cakap dan kepribadiannya lebih tangguh, maka dia semakin  menarik orang lain. Misal, bila seseorang lebih berilmu, maka  orang-orang yang menuntut ilmu akan lebih tertarik kepadanya untuk  memanfaatkan jasanya. Kalau seseorang memiliki ke-mampuan teknis yang  lebih, maka semakin banyak orang akan bekerja di bawah petunjuknya.  Itulah sebabnya Al-Qur’an yang menentang eksistensi tuan dan hamba dalam  masyarakat, mengakui eksistensi keragaman alamiah dan perbedaan tingkat  kemampuan yang diciptakan oleh Allah. Al-Qur’an juga mendukung hubungan  “saling” memanfaatkan jasa. Al-Qur’an menyebutkan:
Apakah merekayang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan  antara mereka penghidupan mereka dalam hehidupan dunia, dan Kami telah  meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat,  agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat  Tuhanmu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan. (QS. az-Zukhruf:  32)
Makna yang sangat bagus yang dapat disimpulkan dari ayat ini adalah  bahwa keragaman bukanlah sepihak. Manusia tidak dibagi ke dalam  kelas-kelas, yaitu kelas mampu dan kelas tidak mampu. Kalau demikian  hahiya, tentu Allah akan berfirman, “Kami telah meninggikan kedudukan  sebagian mereka agar dapat mempekerjakan sebagian yang lain.” Namun  Allah SWT tidak berfirman seperti ini. Allah berfirman bahwa Dia telah  meninggikan kedudukan sebagian mereka atas sebagian yang lain, agar  sebagian mereka memanfaatkan jasa sebagian yang lain. Itu artinya bahwa  semua manusia memiliki kemampuan tertentu, dan bahwa semua manusia  memanfaatkan jasa masing-masing. Dengan kata lain, saling memberikan  kemampuan dan jasa.
Makna lainnya adalah bahwa kata “sukhriyyan” dalam ayat ini diawali  dengan vokal “u” (su), yang artinya adalah pekerjaan dan pemanfaatan.  Kata ini juga digunakan di dua tempat yang berbeda dalam Al-Qur’an  dengan vokal “i” (si) dan, menurut sebagian besar mufasir, artinya  adalah olok-olok. Ayat ini menggambarkan hubungan alamiah dan fitri  manusia dalam kehidupan sosialnya, dan mengatakan bahwa hubungan manusia  adalah sedemikian rupa sehingga terjadi pemanfaatan jasa satu sama  lain. Dapat dikatakan bahwa ini merupakan ayat yang sangat penting dari  sudut pandang penjelasan terperinci filosofi sosial Islam.
Baidhawi, dalam tafsimya yang termasyhur mengenai Al-Qur’an, dan  mengikuti jejaknya, Allam Faiz dalam kitabnya “ash-Shaft”, ketika  menjelaskan ayat ini, mengatakan:
“Agar sebagian mereka dapat mempeherjakan sebagian yang lain,”  artinya adalah bahwa semua manusia memanfaatkan jasa masing-masing untuk  memenuhi kebutuhan hidup. Hubungan ini merupakan sarana untuk  menciptakan dalam diri manusia semangat berkehendak baik, dan peduli  terhadap satu sama lain sehingga urusan dunia ini dapat berjalan lancar.
Ada sebuah hadis (riwayat) yang juga mengatakan bahwa arti ayat ini  adalah bahwa Allah SWT telah menciptakan manusia dengan cara sedemikian  rupa sehingga manusia saling membutuhkan satu sama lain. Meskipun untuk  memenuhi kebutuhan alamiahnya manusia saling membutuhkan satu sama lain,  namun masih ada satu ruang lingkup yang memadai dalam masyarakat, yaitu  ruang lingkup kompetisi bebas. Sebaliknya, kehidupan hewan yang suka  hidup berkelompok didasarkan pada hubungan yang sifatnya terpaksa.  Karena itu, kebutuhan manusia untuk hidup bermasyarakat beda dengan  lebah. Kehidupan lebah diatur oleh hukum yang tak bisa ditawar-tawar,  dan tak ada ruang untuk kompetisi. Lebah tak punya kemungkinan untuk  naik atau turun. Manusia, di samping sebagai makhluk sosial, juga  memiliki kebebasan.
Masyarakat manusia merupakan ajang bagi berlangsung dan berkembangnya  kompetisi. Kalau individu dibatasi kebebasannya untuk berkompetisi,  maka akibatnya adalah kemampuan manusia tidak berkembang. Manusia model  bagi mazhab materialistis, meskipun mendapat beberapa pembatasan  lahiriah, tak mampu meraih kemerdekaan rohaniah. Dia bagaikan burung  yang tak bersayap. Sekalipun tidak dikurung dalam sangkar, burung  tersebut tetap saja tak mampu terbang. Manusia model bagi mazhab  idealistis memiliki kemerdekaan rohaniah namun lahiriahnya diikat. Dia  bagaikan burung yang bersayap namun kakinya diikat kuat-kuat. Sedangkan  manusia ideal bagi mazhab realistis adalah bagaikan burung yang bersayap  dan kakinya ddak diikat dan dapat terbang tanpa mengalami kesulitan.
Dari paparan di atas, jelaslah bahwa tauhid praktis, baik orang  seorang maupun masyarakat, artinya adalah tunduk patuh hanya menyembah  Allah SWT dan menolak setiap pemujaan kepada hawa nafsu, uang,  kehormatan dan privilese, dan seterusnya. Kalau untuk masyarakat,  artinya juga adalah tunduk patuh sepenuh hati kepada aturan yang adil  dan keadilan, dan menolak segala nilai yang palsu, diskriminasi dan  ketidakadilan. Kalau para individu dan masyarakat tidak tunduk patuh  sepenuh hati, maka kebahagiaan dan kesejahteraan tak dapat diraihnya.  Mereka baru dapat disebut tunduk patuh sepenuh hati kalau mereka berlaku  benar. Al-Qur’an menggambarkan terpecah-pecahnya personalitas manusia  dan kebingungannya hidup di bawah sistem kemusyrikan dan pencapaiannya  akan persatuan dan tujuan dengan berada di bawah sistem tauhid dengan  kalimat berikut:
Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang lelaki (budak) yang  dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat yang dalam perselisihan dan  seorang budak yang menjadi milik penuh seorang lelaki (saja). Adakah  kedua budak itu sama halnya? (QS. az-Zuman 29)
Di bawah sistem kemusyrikan, manusia bagaikan jerami yang setiap saat  diombang-ambingkan oleh ombak laut ke arah yang berbeda. Di bawah  sistem tauhid, manusia bagaikan bahtera yang lengkap peralatannya,  jalannya teratur, dan berada di bawah komando kapten yang bermaksud  baik.
 DITULIS Oleh: Ayatullah Murtadha Muthahhari
 
 
 
 
 
0 komentar:
Post a Comment