sebagai Umat islam kita pasti memperingati yang namanya tahun baru hijrah, dan Setiap kali memperingati tahun baru hijrah, hal yang tidak pernah saya lupakan adalah tentang kisah bagaimana kesulitan yang dialami oleh Nabi dan sahabatnya di perjalanan dari Makkah ke Madinah. Ketika itu belum ada kendaraan modern seperti sekarang.
Padahal jarak antara Makkah dan Madinah cukup jauh. Jama’ah haji sekarang ini dengan berkendaraan bus antara Makkah dan Madinah harus menempuh antara 6 sampsi 7 jam. Dari gambaran itu maka bisa dibayangkan, berapa lama perjalanan itu andaikan ditempuh dengan berjalan kaki, sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah waktu hijrah itu.
Padahal jarak antara Makkah dan Madinah cukup jauh. Jama’ah haji sekarang ini dengan berkendaraan bus antara Makkah dan Madinah harus menempuh antara 6 sampsi 7 jam. Dari gambaran itu maka bisa dibayangkan, berapa lama perjalanan itu andaikan ditempuh dengan berjalan kaki, sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah waktu hijrah itu.
Perjalanan Nabi dalam berhijrah tersebut menjadi lebih sulit dan menderita lagi, karena rombongan tersebut juga dikejar-kejar oleh orang-orang yang ketika itu memusuhi. Orang-orang kafir Quraisy tidak saja menghendaki nabi meninggalkan Makkah, tetapi lebih dari itu adalah mengejar dan kalau berhasil membunuhnya. Perjalanan jauh itu tidak berbekalkan kebutuhan hidup yang cukup. Mereka hanya membawa sebatas apa adanya. Bahwa yang penting, mereka bisa pergi dari Makkah.
Atas dasar keadaan seperti itu, Nabi dan para sahabat yang menyertainya, di perjalanan mengalami kekurangan bekal. Di tengah padang pasir, mereka merasakan kehausan yang amat sangat. Dalam keadaan seperti itu, Nabi dan para sahabat mendapati sebuah rumah yang sangat sederhana, dan ternyata dihuni oleh seorang nenek tua. Menurut riwayat, maka dimintailah nenek itu air sekedar untuk membasahi lobang leher para sahabat.
Singkat cerita, bahwa jangankan air untuk orang lain, sekedar keperluan diri sendiri saja, nenek itu sudah tidak mempunyai. Nenek tua itu sendiri juga merasakan kehausan, karena sudah tidak ada air untuk diminumnya. Akan tetapi ternyata di sebelah rumah sederhana itu, terdapat seekor kambing kecil dan kurus. Segera Nabi meminta ijin, apakah diperkenankan mengambil susunya. Atas permintaan tamunya itu, nenek tua tersebut menunjukkan keheranannya. Dalam pikiran nenek, bagaimana kambing kecil dan kurus seperti itu bisa mengeluarkan susu. Tetapi, tuan rumah tersebut segera mempersilahkan, jika memang diinginkan.
Nenek tua, ------dalam kisah tersebut, merasa lebih heran lagi, ketika Nabi meminjam tempat untuk menampung susu yang akan diperas itu. Nenek tidak membayangkan bahwa usaha itu akan berhasil. Kambing kecil dan kurus, menurut logika nenek tua, tidak akan mungkin mengeluarkan susu, apalagi sebanyak hingga satu gelas misalnya. Tetapi, nenek tua juga memberikan tempat itu. Dan ternyata, hal yang sangat mengherankan, dari kambing tua dan kurus itu keluarlah susu yang tidak henti-hentinya. Susu tersebut dibagi-bagikan kepada para sahabat hingga semua kebagian.
Sesuatu yang menarik dari kisah tersebut adalah terkait dengan kepemimpinan Nabi yang sedemikian mulianya. Sekalipun Nabi sendiri yang memeras susu itu, ia tidak segera meminumnya. Susu itu secara bergiliran, diserahkan kepada masing-masing sahabat hingga kebagian semuanya, termasuk kepada nenek tua. Baru setelah semuanya kebagian, maka yang terakhir kali, nabi sendiri yang meminumnya.
Dalam perjanalan hijrah itu, nabi sebagai seorang pemimpin, berusaha untuk memenuhi kebutuhan para sahabatnya. Nabi tidak menempatkan posisi dirinya sebagai orang yang dilayani, tetapi justru yang melayani. Di tengah-tengah suasana memberikan pelayanan itu, hal yang sangat menarik, Nabi selalu mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingan dirinya sendiri. Dalam kasus pembagian susu tersebut, sekalipun dirinya sendiri juga tampak haus dan membutuhkannya, ia baru meminum setelah semuanya kebagian. Orang lain selalu diutamakan daripada dirinya sendiri. Bahkan, Nabi sebagai pemimpin, bukan dijaga atau diamankan tetapi justru sebaliknya, menjaga dan mengamankan orang lain.
Kisah yang amat indah tersebut, saya peroleh dari cerita guru mengaji ketika masih kecil dulu di kampung. Cerita itu tidak pernah saya lupakan. Namun ternyata sangat berat sekali untuk dijalankan, apalagi di alam modern seperti sekarang ini. Maka pantaslah, Nabi berhasil dalam memimpin masyarakat Arab jahiliyah, menjadi satu tatanan kehidupan yang damai, adil, dan sejahtera.
Keberhasilan kepemimpinan Nabi tersebut tetap dikenang hingga sekarang, termasuk kisah di perjalanan sewaktu hijrah tersebut. Atas kepemimpinan Nabi, masyarakat Madinah menjadi dikenal sebagai kehidupan yang ideal. Dalam memimpin, Nabi selalu mendahulukan kepentingan dan kebutuhan orang lain daripada kepentingan dirinya sendiri. Kepemimpinan yang terpuji dan ideal itu, pada saat sekarang ini sangat sulit ditemui dan bahkan rasa-rasanya tidak akan pernah ada. Namun untungnya, bahwa cita-cita meniru Nabi itu, ternyata di sana-sini masih terdengar ada. Wallahu a’lam.
0 komentar:
Post a Comment