728x90 AdSpace

Latest News
Wednesday 6 March 2013

Jejak Teori Insan Kamil Ibn Arabi di Nusantara


Secara umum, tasawuf tidak bisa lepas dari tokoh yang bernama Ibn Arabi. Karena beliaulah tokoh yang berpengaruh di dalam dunia tasawuf. Bahkan Muthahari dalam bukunya "Insan Kamil" tidak canggung-canggung menyebut Muhyiddin Arabi al Andalusi Tha'i sebagai sufi kawakan dan sekaligus bapak sufisme, tak terkecuali ketika kita berbicara tasawuf di nusantara rasanya aroma Ibn Arabi tercium dimana-mana. Hal ini tidak mengherankan karena sebagaimana pengakuan Prof. Abdul Hadi WM., sejak abad ke-17 karya-karya penting sufi terkemuka menyebar di pusat-pusat studi keagamaan tanah air, seperti pesantren dan sudah akrab di kalangan para ulama, khususnya yang konsen tehadap kajian tasawuf dan tarekat: Dalam hal ini Prof. Abdul Hadi WM. menulis:
Pada awal abad ke-17 M dengan pindahnya pusat kekuasaan Jawa ke pedalam
an, kegiatan penulisan suluk berkembang pula di pedalaman, terutama di pesantren dan pusat-pusat kekuasaan. Di istana-istana raja Jawa, kegiatan penulisan sastra suluk mula-mula digalakkan oleh Panembahan Seda Krapyak pada permulaan abad ke-17 M. Perkembangan sastra suluk semakin pesat pada masa pemerintahan Panembahan Senapati di Mataram. Pada masa ini sejumlah besar suluk-suluk pesisir disalin dan disadur kembali ke dalam bahasa Jawa Baru. Di antaranya Suluk Wujil karya Sunan Bonang, dan Suluk Malang Sumirang karya Sunan Panggung (Poerbatjaraka 1938). Pada masa ini juga karya Jalaluddin Rumi yang masyhur Diwan-i Shamsi Tabriz disadur ke dalam bahasa Jawa di bawah judul Suluk Syamsi Tabriz. Sementara karya-karya Imam al-Ghazali, Abdul Karim al-Jili (al-Insan al-Kamil), Ibn `Arabi, dan karya sufi Arab dan Persia lain mulai dipelajari secara meluas di berbagai pesantren.

Salah satu tokoh sufi kenamaan tanah air yang pemikiran tasawufnya sedikit banyak dipengaruhi oleh pandangan-pandangan sufistik Ibn Arabi adalah Hamzah Fansuri. Berikut ini kami akan mengulang sedikit bagaimana pandangan insan kamil Ibn Arabi memengaruhi pemikiran tasawuf Hamzah Fansuri.

Hamzah Fansuri dan Pandangan Insan Kamil Ibn Arabi

Tasawuf Hamzah Fansuri banyak dipengaruhi oleh pandangan Ibn Arabi. Berkaitan dengan hal ini Prof. Dr. Abdul Hadi WM. menulis:

Mula-mula Hamzah Fansuri mempelajari tasawuf setelah menjadi anggota tarekat Qadiriyah yang didirikan oleh Syekh Abdul Qadir Jilani dan dalam tarekat ini pula dia dibai'at. Setelah mengembara ke berbagai pusat Islam seperti Baghdad, Mekkah, Madinah dan Yerusalem, dia kembali ke tanah airnya serta mengembangkan ajaran tasawuf sendiri. Ajaran tasawuf yang dikembangkannya banyak dipengaruhi pemikiran wujudiyah Ibn `Arabi, Sadrudin al-Qunawi dan Fakhrudin `Iraqi. Sedangkan karangan-karangan sastranya banyak dipengaruhi Fariduddin al-Aththar, Jalaluddin al-Rumi dan Abdur Rahman al-Jami.

Sehubungan dengan pandangan Hamzah Fansuri terkait dengan kemuliaan manusia dan insan kamil, Dr. Abdul Hadi WM. menulis:

Dalam pandangan Hamzah Fansuri, kemulian manusia terletak pada kesempurnaannya dalam berhubungan dengan Allah. Manusia yang paling sempurna adalah mereka yang mampu memanifestasikan keseluruhan sifat Tuhan dalam diriya.

Dalam Burung Pingai Hamzah menyatakan:

Mazhar Allah akan rupanya

Asma Allah akan namanya

Malaikat akan tentaranya

‘Akulah wasil' akan katanya

Sayapnya bernama furqan

Tubuhnya bersurat Qur'an

Kakinya Hannan dan Mannan

Daim bertengger di tangan Rahman

Ruh Allah akan nyawanya

Sirr Allah akan angganya

Nur Allah Akan matanya

Nur Muhammad daim sertanya

Syair di atas menggambarkan posisi manusia yang telah menyatu dengan Tuhan. Ia menggambarkan bagaimana keseluruhan dirinya diliputi oleh asma' dan sifat Tuhan. Tidak ada sisi dalam dirinya yang tidak diliputi Tuhan. Bagaikan Tuhan ia dikawal malaikat-Nya dan berdiri di atas kakinya yang juga merupakan malaikat-Nya (Hannan dan Mannan). Dalam tataran inilah manusia menjadi sempurna.

Anda perhatikan bagaimana Hamzah Fansuri menggambarkan sosok insan kamil secara apik dan elegan dan bagaimana ia menggunakan istilah manusia sempurna atau insan kamil dalam beberapa penjelasannya. Ini membuktikan bahwa beliau bukan hanya terpengaruh oleh pandangan insan kamil Ibn Arabi tapi sebenarnya juga berusaha mengembangkannya dengan bahasa yang lebih mudah dan popular sehingga dapat dipahami dan kemudian diamalkan oleh para muridnya dan umat Islam di Indonesia yang peduli terhadap kajian tasawuf.

Cinta Ilahi, Akhir perjalanan Pesalik

Hamzah Fansuri lebih jauh memotret insan kamil secara lebih tajam ketika beliau menjelaskan konsep mahabbah (cinta). Baginya, cinta hakiki akan terbangun antara ‘asyiq dan ma`syuq ketika tidak ada lagi noda cinta dunia. Selama masih ada kepentingan materi, maka cinta hakiki dan abadi tidak akan pernah terwujud. Maka pesalik harus berusaha sekuat tenaga untuk bagaimana caranya menghilangkan noktah-noktah hitam dan merah akibat cinta. Sebagaimana disabdakan oleh wujud insan kamil terbesar, yaitu Rasulullah saw bahwa: "Cinta dunia adalah pangkal segala kesalahan (dosa)." Dalam kaitan ini, Dr. Abdul Hadi WM. menulis:

Cinta adalah hakikat Tuhan yang Wujud dalam alam. Ia menampakkan dirinya berupa surah dalam diri manusia. Setiap manusia yang menempah jalan menuju Tuhan mesti membersihkan diri dari sifat keduniawian. Sifat ketuhanan akan masuk dalam diri yang telah bebas dari sifat keduniawiannya. Seseorang yang telah mampu menampakkan sifat-sifat ketuhanan dalam dirinya ia adalah insan kamil.

Dan yang menarik, ketika Hamzah Fansuri menyebutkan cinta Ilahi sebagai terminal akhir pesalik/abid. Ya, Allah SWT memanisfestasi melalui asma-asma-Nya yang paling indah dan terbaik, supaya dengan nama-nama tersebut para pesalik mampu mengenal-Nya dengan baik dan menjalankan aktifitas ibadah dengan kesadaran tauhid tertinggi; tauhid yang mengantarkan insan pada hakikat ibadah, yaitu penyembahan yang semata karena cinta dan kerinduan kepada-Nya dan tenggelam dalam asma-Nya; hingga tiada lagi abid; tiada lagi ibadah, yang ada hanya Ma'bud (Sang Kekasih Absolut); yang ada hanya nyayian dan lagu cinta.

Dalam hal ini, Hamzah Fansuri mengatakan, "Akhir dari perjalan seorang salik adalah mendapatkan cinta Ilahi yang akan menjadikannya sebagai insan kamil." Penggapaian ini berwujud pada kesadaran kesatuan pandang antara diri dan Tuhan, seperti terungkap dalam sya'irnya:

Ma'bud itulah yang bernama haqiq

Sekalian alam di dalamnya ghariq

Olehnya itu sekalian fariq

Pada kunhi-nya tiada beroleh thariq

Konsep Insan Kamil dalam Tasawuf Syamsudin Pasai

Tokoh sufi kesohor lainnya di tanah air yang juga terpengaruh oleh pandangan insan kamil Ibn Arabi adalah Syamsudin Pasai.

Dalam kitabnya Mir`at al-Muhaqqiqin Syamsudin Pasai menerangkan bahwa rupa batin manusia merupakan salinan dari wajah Tuhan. Tetapi hanya manusia yang telah mencapai martabat insan kamil dapat kembali mencapai tipe ideal asalnya yang rupa batinnya mengandung gambaran sifat ketuhanan. Uraiannya mengenai wahdat al-wujud (kesatuan transenden wujud) dapat dilihat dalam bab ketiga bukunya ini, yaitu fasal yang membicarakan nisbah (kaitan) perbuatan atau fi`il dan sifat, serta nisbah dzat dan wujud. Perbuatan kita sebenarnya, jika ditilik secara mendalam, digerakkan Tuhan, tetapi mengikuti keinginan dan gerak hati kita sendiri. Kata Syamsudin, " "Dalil (nya ialah) firman Tuhan yang berarti: Allah Ta`ala menjadikan kamu dan perbuatan kamu". Mengutip pernyataan Ibn `Arabi, dia mengatakan, bahwa barang siapa memandang perbuatan makhluq tiada berasal dari diri makhluq itu sendiri, maka ia benar.

Seperti Ibn `Arabi, bagi Syamsudin Pasai sempurnanya makrifat seseorang terletak pada penguasaan tujuh pengetahuan; 1. Pengetahuan tentang nama-nama-Nya; 2. Pengetahuan tentang tajalli Ilahi; 3. Pengetahuan taklif Tuhan terhadap hamba-Nya; 4. Pengetahuan tentang kesempurnaan dan kekurangan wujud alam semesta; 5. Pengetahuan mengenai alam akhirat; 6. Pengetahuan tentang hakikat diri; 7. Pengetahuan mengenai sebab-sebab dari penyakit batin dan obatnya (Ibid).

Syamsudin Pasai juga menulis beberapa syair. Satu bait dari syairnya yang indah ialah yang ini:

Heninglah laut semata-mata

Hapuslah sekalian rupa yang nyata

Pendeklah sini sekalian kata

Isyarat pun habis dari cita

(Braginsky 2002)

Coba Anda garis bawahi pernyataan beliau: "Rupa batin manusia merupakan salinan dari wajah Tuhan. Tetapi hanya manusia yang telah mencapai martabat insan kamil dapat kembali mencapai tipe ideal asalnya yang rupa batinnya mengandung gambaran sifat ketuhanan." Betapa indahnya beliau menggambarkan potret batin insan kamil yang jiwanya dipenuhi dengan pantulan dan cahaya asma Allah. Ketika beliau mengatakan bahwa batin manusia merupakan salinan dan duplikat dari wajah Allah, maka di sini menunjukkan bahwa insan kamil memiliki kekuatan ilahiah. Dalam sebuah hadis qudsi yang terkenal dikatakan:

Wahai hamba-Ku, taatlah kepada-Ku, hingga aku menjadikanmu seperti-Ku. Maka, sebagaimana Aku yang memiliki kemampuan "kun fayakun" maka engkau pun dapat mengatakan kepada sesuatu "kun fayakun".

Kemampuan mendemontrasikan "kun fayakun" ketika seseorang berhasil menjadi salinan Allah di muka bumi. Namun menjadi salinan wajah Allah bukan perkara mudah. Kedudukan ini tidak diberi cuma-cuma, Syamsudin Pasai membatasi tipe manusia yang paling ideal ini hanya bagi mereka yang memang bersedia melalui jenjang-jenjang spiritual yang mengantarkannya kepada posisi terhormat sebagai insan kamil. Dengan kata lain, idealitas manusia bukan diukur dari sebanyak mana harta yang dikumpulkannya; secantik apa istri yang dinikahinya; sebesar dan seluas apa tahta yang didudukinya namun semua itu hanya fatamorgana yang tak berguna ketika ia belum mencicipi rasanya menjadi insan kamil. Insan kamil adalah martabat kemanusiaan yang paling tinggi dan paling mulia.

Insan Kamil dalam Tasawuf Nuruddin al-Raniri

Tokoh sufi lainnya di tanah air yang juga terpengaruh oleh pandangan insan kamil Ibn Arabi adalah Nuruddin al-Raniri.

Ulama dan sastrawan besar Aceh yang tidak kalah masyhur dari Hamzah Fansuri dan Syamsudin Pasai ialah Nuruddin al-Raniri. Nama lengkap berikut gelar yang diberikan kepadanya ialah al-`Alim Allama al-Mursyid ila al-Tariq al-Salama Maulana al-Syeikh Nuruddin Muhammad ibn `Ali Hasan ji bin Muhammad Hamid al-Qurayshi al-Raniri. Ulama keturunan India Arab ini lahir di Ranir, Gujarat, pada tahun 1568 (Windstedt 1968:145; Ahmad Daudy 1983:49) dan sangat mencintai dunia Melayu. Pada masa hidupnya Gujarat merupakan pelabuhan dagang yang ramai dikunjungi kapal-kapal dagang Arab, Persia, Mesir, Turki dan Nusantara. Di sini bahasa Melayu dipelajari oleh para pedagang dan pendakwah yang akan berkunjung ke Nusantara. Nuruddin tertarik mempelajari bahasa ini sejak usianya masih muda dan berhasrat tinggal di negeri Melayu mengikuti jejak pamannya yang pernah berdakwah di Aceh pada abad ke-16 M.

Pada tahun 1582, setelah agak lama belajar di Tarim, Arab, dia menunaikan ibadah haji di Mekkah (Ibid). Pertemuannya dengan banyak orang Melayu selama di Mekkah dan Gujarat memperkuat hasratnya untuk menetap di negeri Melayu. Apalagi setelah mendengar kabar perkembangan paham wujudiya di Aceh yang dipandang oleh ahli-ahli tasawuf India ketika telah banyak menyimpang. Terutama pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda, ketika pengaruh Hamzah Fansuri dan Syamsudin Pasai semakin kuat. Dia sendiri adalah pengikut Ibn `Arabi, tetapi dalam menafsirkan ajaran wujudiya dia bertolak dari ketentuan syariat dan fiqih sedemikian ketatnya.

Pada masa itulah dia pergi ke Pahang, tinggal lama di situ dan memperdalam penguasaannya terhadap bahasa dan kesusastraan Melayu sehingga akhirnya mampu menulis kitab dan karangan sastra dalam bahasa ini. Ketika Sultan Iskandar Muda wafat pada tahun 1636 M, segera dia pergi ke Aceh dan diterima sebagai ulama istana oleh sultan yang baru Iskandar Tsani (1637-1641). Di sini dia angkat sebagai mufti atau qadi agung. Sejak itulah karirnya sebagai penulis sastra kitab dan ketatanegaraan mencapai puncaknya (Ibid). Selain menguasai berbabagai cabang ilmu agama dan kesusastraan, Syekh Nuruddin juga menguasai ilmu mantiq (logika) dan balaghah (retorika), dan ilmu pengetahuan lain seperti sejarah, ilmu ketabiban dan sebagainya.

Pengakuan Dr. Abdul Hadi WM. bahwa "Nuruddin al-Raniri adalah pengikut Ibn `Arabi, meskipun dalam menafsirkan ajaran Wahdatul Wujud dia bertolak dari ketentuan syariat dan fiqih sedemikian ketatnya" menandakan bahwa beliau tentu seyogianya akrab dengan pembahasan-pembahasan utama yang disampaikan oleh Ibn Arabi, terutama pembahasan terkenal beliau tentang teori insan kamil.

Dalam bukunya "Bustan al-Salatin', bab pertama, beliau membahas "Nur Muhammad". Tentu saja pembahasan ini sangat kental beraroma sufistik dan berhubungan dengan konsep penciptaan Adam (insan kamil) yang menjadi guru para malaikat.

Di samping itu, dalam kajian sastra sufistik, sosok insan kamil tentu dijelaskan secara puitis dalam bait-bait syair dan sastra. Banyak sekali karya satra, utamanya dalam bahasa Arab yang memuji Nabi Muhammad saw sedemikian tingginya; melibihi sekat-sekat manusia biasa. Tentu saja segala pujian yang ditujukan kepada Nabi Muhammad itu terasa pas dan tidak perlu dianggap pengkultusan dan hiperbolis bila dilihat dari sudut posisi beliau sebagai insan kamil.

Berkaitan dengan bagaimana maraknya syair pujian dalam sastra Melayu, Dr. Abdul Hadi WM. menulis:

Syair Pujian Kepada Nabi Muhamad Saw Walaupun tema tentang Nur Muhammad dan pujian kepada beliau terdapat dalam syair-syair makrifat, terdapat syair pujian khusus kepada beliau. Dalam kesusastraan Arab disebut al-mada`ih al-nabawiyah dan di Persia disebut na`tiya, dari perkataan na`at yang berarti pujian. Syair jenis ini dalam kesusastraan Melayu terutama diilhami oleh Qasida al-Burdah, Syaraf al-Anam dan Qasida al-Barzanji. Di antaranya ialah Syair Rampai Maulid, Syair Maulid Jawi, Nazam Dua Puluh Lima Rasul, yang didahului dengan puji-pujian kepada nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad Saw Dimasukkan ke dalam kategori karya bercorak tasawuf, karena penulisnya biasa adalah sufi atau guru tariqat, dan dalam ungkapan-ungkapannya terdapat simbol-simbol yang berlaku dalam sastra sufi. Misalnya perumpamaan terhadap Nabi Muhammad Saw sebagai matahari yang menerangi dunia, bulan purnama, kekasih Tuhan, teladan bagi sekalian ahli makrifat, dan lain sebagainya.

Tema tentang Nur Muhammad saw hampir merata disebutkan dalam buku-buku Maulid (kelahiran) beliau. Dan tema ini sangat cocok bila dikaji dari sudut pandangan insan kamil. Bahwa karena Nur Muhammad-lah alam dan seisinya ini diciptakan.

Kesimpulan

Ibn Arabi adalah maestro tasawuf dalam dunia Islam yang berjasa besar dalam perkembangan dan pengukuhan ilmu tasawuf. Sehingga secara langsung atau tidak banyak tokoh sufi dunia yang terpangaruh dan berhutang kepadanya. Tak terkecuali tokoh-tokoh tasawuf di nusantara yang sedikit-banyak terpangaruh oleh pandangan-pandangan Ibn Arabi.

Salah satu pandangan sufistik Ibn Arabi yang mewabah di kalangan sufi tanah air adalah teori ''insan kamil''. Para sufi beken, seperti Hamzah Fansuri, Syamsudin Pasai dan Nuruddin al-Raniri sudah akrab dengan konsep insan kamil dan bahkan masing-masing mereka dengan caranya masing-masing berusaha menyebarkan dan mengembangkannya.

Ibn Arabi menilai bahwa Insan kamil adalah ciptaan yang azali dan abadi dan kalimat penentu dan komprehensi. Dengan perantaranya, rahasia-rahasia Ilahi dan makrifat-makrifat hakiki mewujud. Insan kamil adalah wadah seluruh peran dan duplikat asma-asma Ilahi dan merupakan rahmat terbesar al Haqq bagi makhluk.

Berbeda dengan Ibn Arabi yang membahas teori insan kamil dalam bingkai tasawuf, Murtadha Muthahari menguraikan konsep insan kamil dari sudut pandang Alquran. Sebagaimana Ibn Arabi, Muthahari melihat insan kamil sebagai manusia yang menangkap dan mengembangkan asma Allah secara proporsional.

Sedangkan menurut Hamzah Fansuri, manusia yang paling sempurna adalah mereka yang mampu memanifestasikan keseluruhan sifat Tuhan dalam diriya. Adapun Syamsudin Pasai berpendapat bahwa rupa batin manusia merupakan salinan dari wajah Tuhan. Tetapi hanya manusia yang telah mencapai martabat insan kamil dapat kembali mencapai tipe ideal asalnya yang rupa batinnya mengandung gambaran sifat ketuhanan. Dan akhirnya, pembahasan tentang "Nur Muhammad" yang dilakukan Nuruddin al-Raniri dan juga terdapat dalam sastra Melayu menandakan betapa kuatnya pengaruh pandangan kamil Ibn Arabi dalam literatur dan khazanah tasawuf nusantara.

Oleh: Muhammad Alcaff

Daftar Pustaka

Manusia Sempurna,Muthahari, Lentera, Jakarta, 2003

Dunia Imajinal Ibnu Arabi, William C. Chittick, Risalah Gusti, Surabaya 2001

http://www.hawzah.net

http://amuli.wordpress.com

Diktat dosen

_______________________________

(1) Dunia Imajinal Ibn Arabi, William C. Chittick.

(2) Manusia Sempurna, hal.32
http://www.tapaksunan.net/id/catatan-detil/16/jejak-teori-insan-kamil-ibn-arabi-di-nusantara
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Post a Comment

Item Reviewed: Jejak Teori Insan Kamil Ibn Arabi di Nusantara Rating: 5 Reviewed By: RUSTADHIE