Sertifikasi, sertifikasi, sertifikasi. Kita akan disertifikasi. Kita akan dapat tunjangan profesi senilai gaji kita. Kita akan dapat tunjangan seperti guru-guru. Kita akan lebih sejahtera dibandingkan sekarang. Kata-kata obrolan penuh harap tersebut saya dengar saat diperjalanan menuju Cibodas, Cianjur, dimana Jambore Penyuluh yang ke-2 (dua) akan dilaksanakan. Kita masih ingat angka tahun pelaksanaannya yaitu 2008, bahkan kaos kenang-kenangannya masih saya miliki dan masih dalam kondisi baik. Berarti obrolan itu terjadi kira-kira 4 tahun yang lalu. Saat itu beberapa guru sudah menikmati tunjangan yang baru didiskusikan oleh PPL.
Tak terasa penantian panjang tersebut kini sudah terlaksana. Senior-senior saya sudah ada yang disertifikasi, berarti tidak lama lagi senior tersebut akan dapat tersenyum lebar. Mari kita akui secara jujur, bukan sertifikasinya yang ditunggu, tapi tunjanganya. Maaf, jangan mentertawakan kata-kata saya dulu. Beberapa tulisan yang saya baca ternyata yang sudah disertifikasi saling bertanya “ Kapan uangnya turun?”.
Baru satu-dua orang senior saya mendapatkan kesempatan sertifikasi. Masih ada puluhan lagi. Beberapa diantaranya saya tanya “Ikut sertifikasi nggak?”. Jawabannya aneh tapi nyata “TIDAK !!” tegas banget. Saya iseng coba cari alasannya, meskipun dalam hati sudah menduganya. Dalam bahasa Sunda kasar, dengan nada sedikit tinggi (Kayaknya agak jengkel dan maaf, ada sedikit putus asa dan sinis) kalau saya terjemahkan kira-kira seperti berikut : “Apaan…, susah…., harus bisa komputer…, harus ini, harus itu bla-bla-bla”.
Jawaban yang sudah saya duga tersebut membuat saya tertawa ngakak, seolah sedikit mengejek kelemahan generasi mereka. Tapi jujur, sebenarnya sedih juga. Apa mereka akan tahan menonton rekan-rekan sejawatnya atau bahkan mungkin yunior-yuniornya dapat tunjangan profesi sementara Mereka Tidak. Sebenarnya saya tidak menghendaki jawaban tersebut, tidak tega. Saya ingin mereka menjawab “Yaaa ikut dong, aku kan pahlawan tanpa tanda jasa juga seperti guru”.
Saya sadar-sesadar-sadarnya bahwa persyaratan-persyaratan sertifikasi itu relevan, penting, bahkan sengat penting di era informatika saat ini. Hal inilah justru yang membuat saya merenung. Kondisi senior saya membawa pikiran saya ke masa awal tahun 82-an, saat beberapa bulan lagi saya akan menamatkan sekolah pertanian.
Saat menunggu angkutan yang akan membawa saya ke sekolah, tiba-tiba parkir sebuah sepeda motor jenis trail warna merah, joknya lebih pendek, lebih gagah dibandingkan trail yang baru dinikmati PPL Dinas Pertanian. Katanya waktu itu, jenis trail tersebut bagian PPL Peternakan. Tanpa sadar saya mengusap-usap tangki dan tutup box accu motor tersebut. “ Aku mau jadi PPL juga aaah” bathin saya. Meskipun takdir tidak menghendaki saya langsung jadi PPL setamat sekolah pertanian, saya mengambil kesempatan studi lagi di Bogor.
Di Bogor saya banyak belajar tentang PPL, tentang kisah-kisahnya, tentang sepak terjangnya, tentang keheroikan mereka menjadi ujung tombak Pembangunan Pertanian Daerah. Tentang telanjang kakinya (mungkin waktu itu belum musim sepatu boot, atau mungkin belum terbeli). Tentang sulitnya mereka mengajarkan Panca Usaha Tani, tentang sulitnya mereka mengajarkan memupuk, menggunakan pupuk, tandur jajar, bibit bermutu dan kesulitan-kesulitan lainnya. Namun kesulitan dan perjuangan PPL di Era pra 70-an hingga 80-an tersebut akhirnya tenggelam, tertutup kegembiraan swasembada pangan awal hingga pertengahan tahun 80-an. Siapa sebenarnya pahlawan swa sembada pangan tersebut. Yang jelas bukan saya.
Saya coba menghitung-hitung usia dan masa kerja mereka. Pada usia mereka yang rata-rata diatas 50 tahun, masa kerja mereka pasti sebenarnya lebih dari 30 tahunan. Terbayang saat mereka muda , seperti apa energiknya mereka saat Repelita 1,2,3,4 diperjuangkan demi mencukupi kebutuhan pangan bangsa ini. Saya mungkin idiot atau minimal kurang gizi jika tidak ada perjuangan mereka. Bukankan kata Bung Karno “Bangsa yang besar itu adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya”. Atau kita akan terus mempertahankan sebagai bangsa yang membesar.
Kalau saya boleh bertanya, “Tak sebandingkah jasa-jasa mereka jika dibandingkan dengan pengusaan komputer, bisa menulis teori-teori, bisa mengakses internet, bisa apa lagi agar lulus sertifikasi. Generasi mereka bisa menyelamatkan bangsa ini dari kerawanan pangan. Bisa menghemat Devisa negara dengan tidak mengimpor beras. Bisa menghapus antri beras SEGON (mungkin beras itu di import dari Saigon-Tangerang…eh kalau tahu salah ya dibetulin dong hehehe).
Tinggal berapa orang lagi PPL yang sudah aki-aki, memang mereka gaptek, lembon, bahkan ilmunya juga sudah lama kagak di update, jadi banyak yang sudah kurang sesuai dengan masalah pertanian masa kini. Tapi coba tanya track record mereka saat ikut memperjuangkan suksesnya pembangunan pertanian saat mereka muda dulu.
Tanpa bermaksud mendramatisir keadaan PPL yang sudah aki-aki, Tidak bisakah bagi mereka yang diangkat jadi PPL sebelum tahun 1980 mendapatkan (bukan) tunjangan profesi tanpa harus sertifikasi. Saya rela antri dibelakang mereka meskipun syaratnya lebih dari yang disyaratkan saat ini.
Salam salut untuk PPL aki-aki yang telah membuat badan dan pikiran saya lebih baik dari mereka yang sebenarnya berjuang. You are real warrior for me. Aku hanya bisa balas dengan satu tetes air mata saja, untuk jutaan tetes keringatmu dimasa lalu. Berjuanglah terus, jangan sampai menonton kami menikmati tunjangan profesi. Bravo senior.
(Catatan : Sertifikasi penyuluh pertanian dan nasib senior saya, merupakan tulisan karya Pipin Apriatna seorang penyuluh pertanian dari Jawa Barat. Tulisan ini sebenarnya adalah tanggapan /komentar pada tulisan di website ini yang membahas mengenai sertifikasi penyuluh pertanian, namun kami menganggap lebih baik jika tanggapan sdr. Pipin Apriatna ini dimuat sebagai tulisan tersendiri bukan hanya sebuah tanggapan / komentar . Anda juga dapat berkontribusi dengan mengirim tulisan melalui Form Kirim Tulisan pada halaman Kirim Tulisan. )
sumber : Portal penyuluhan pertanian
http://www.penyuluhpertanian.com/sertifikasi-dan-nasib-senior-saya
0 komentar:
Post a Comment